Ustadz Firanda berkata :
Dan rupanya Abu Salafy sadar bahwasanya tipu muslihatnya ini akan
tercium juga –karena kami yakin Al-Ustadz Abu Salafy Al-Majhuul adalah
ustadz yang mengerti akan ilmu hadits, dan mengerti akan definisi hadits
shahih, oleh karenanya berani untuk mengkritik As-Syaikh Al-Albani
rahimahullah-. Oleh karenanya agar tidak dituduh dengan tuduhan
macam-macam,
Jawab : rupanya Ustadz Firanda tidak sadar jika tipu muslihatnya ini
, akan tercium juga –karena kami yakin Al-Ustadz Firanda Al-Makhdzuul
adalah ustadz yang mengerti akan ilmu hadits, dan mengerti akan definisi
hadits shahih, namun tetap saja membawakan riwayat-riwayat dengan Sanad
yang Tidak sah Mungkar bahkan Palsu (maudhu`) , padahal dalam
Mukhtashar Al-uluw As-Syaikh Al-Albani pun , mengakui adanya Rawi-rawi
yang majhul dalam sanad yang dibawakan Ustadz Firanda dalam Klaim
Ijmaknya itu, Silahkan lihat Mukhtashor al-uluw al-albani
Ustadz Firanda berkata :
maka Al-Ustadz Al-Majhuul segera membungkusi tipu muslihatnya ini dengan berkata :
Peringatan:
Mungkin kaum Wahhabiyah Mujassimah sangat keberatan dengan penukilan
kami dari para tokoh mulia dan agung keluarga Ahlulbait Nabi saw. dan
kemudian menuduh kami sebagai Syi’ah! Sebab sementara ini mereka hanya
terbiasa menerima informasi agama dari kaum Mujassimah generasi awal
seperti ka’ab al Ahbâr, Muqatil dkk.. Jadi wajar saja jika mereka
kemudian alergi terhadap mutiara-mutoara hikmah keluarga Nabi saw.
karena pikiran mereka telah teracuni oleh virus ganas akidah tajsîm dan
tasybîh yang diprogandakan para pendeta Yahudi dan Nasrani yang
berpura-pura memeluk Islam!
Dan sikap mereka itu sekaligus bukti keitdak sukaan mereka terhadap
keluarga Nabi Muhammad saw. seperti yang dikeluhkan oleh Ibnu Jauzi al
Hanbali bahwa kebanyakan kaum Hanâbilah itu menyimpang dari ajaran Imam
Ahmad; imam mereka dan terjebak dalam faham tajsîm dan tasybîh sehingga
seakan identik antara bermazhab Hanbali dengan berfaham tajsîm, dan di
tengah-tengah mereka terdapat jumlah yang tidak sedikit dari kaum
nawâshib yang sangat mendengki dan membenci Ahlulbait Nabi saw. dan
membela habis-habisan keluarga tekutuk bani Umayyah; Mu’awiyah, Yazid ….
.[ Muqaddimah Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu Jauzi])) –demikianlah
perkataan abu.
Jawab : justru ustadz Firanda yang membungkus tipu muslihatnya dengan
sanad-sanad riwayat yang tidak sah , Mungkar dan Palsu. Ustadz firanda
juga membungkus tipu muslihatnya dengan tekhnik-tekhnik licik dalam
bantahannya untuk Abu Salafy ini , semoga para pembaca budiman bisa
mencermati hal ini.
Firanda berkata :
Lihatlah bagaimana buruknya akhlaq Abu Salafy yang hanya bisa menuduh
Ahlus Sunnah dengan tuduhan-tuduhan yang kasar namun tanpa bukti.
Perkataannya ini mengandung beberapa pengakuannya :
1. Dia sudah sadar kalau bakalan dituduh mengekor Syia’h namun
kenyataannya adalah demikian. Oleh karenanya dengan sangat berani dia
mengkutuk Sahabat Mulia Mu’aawiyah radhiallahu ‘anhu. Bukankah ini
adalah aqidah Syi’ah Rofidhoh???, bukankah meyakini Allah tidak di atas
adalah aqidah Rofidhoh??. Imam Ahlus Sunnah manakah yang mengutuk
Mu’aawiyah radhiallahu ‘anhu???!!. Kita Ahlus Sunnah cinta dengan Alu
Bait, akan tetapi ternyata semua riwayat Alu Bait yang disebutkan oleh
sang Ustadz Abu salafy Al-Majhuul riwayat dusta tanpa sanad.
Jawab :
1.ustadz Firanda tidak sadar jika tipu muslihatnya dalam ” Klaim
Ijmaknya “, melalui riwayat-riwayat yang tidak sah Mungkar bahkan
Maudhu` akan terbongkar.
2. ustadz Firanda menuduh ustadz Abu Salafy sebagai orang yang
berakhlak buruk , karena katanya Abu Salafy menuduh Ahlu Sunnah
(wahabiyah) tanpa bukti , hanya sayang Ustadz firanda lagi-lagi tidak
sadar jika dia juga banyak menuduh riwayat Abu salfy tanpa bukti , ,
(seperti tuduhan dusta firanda terhadap riwayat Az-zabidi yang dinukil
dari Shahifah as-sajaadiyah , yang dilakukannya tanpa bukti ) , saya
berharap agar Ustadz Firanda ngaca diri .
3.Ustadz Abu Salafy bukanlah orang yang Maksum , bisa jadi abu
Salafy juga membuat kesalahan , dan jika benar Abu Salafy mengutuk
Sayidina Mu`awiyah Rodhiallahu anhu sayapun tidak sependapat dengan Abu
Salafy dalam kutukannya itu (meskipun mu`awiyah layak mendapat celaan )
, lagi pula celaan kepada Sahabat Nabi tidak hanya Muncul dari kaum
syi`ah , sebab kaum Wahabiyah pun sama mencela para Sahabat Mulia
hanya caranya saja yang berbeda.
4. sejak kapan Wahabiyyun jadi Ahlu Sunnah………..? sebab salah satu
ciri Ahlu Sunnah disamping ” tidak mencela Sahabat Nabi ” juga tidak
menetapkan ” Arah bagi Allah “, sedangkan kaum wahabi yang ngaku salafy ,
mencela Sahabat Nabi (dengan cara yang berbeda dengan Syi`ah) dan
menetapkan Arah bagi Allah.
5. sukurlah Jika kaum Wahabiyah mengaku mencintai Ahlul Bait , hanya
saja klaim cinta itu tidak pernah berbukti , bahkan banyak bukti
menunjukkan jika dihati kaum wahabiyyah sangat membenci Ahlal Bait ,
Contoh kecil dari bukti itu , perkataan Ustadz Firanda : ” akan tetapi
ternyata ” semua ” riwayat Alu Bait yang disebutkan oleh sang Ustadz
Abu salafy Al-Majhuul riwayat dusta tanpa sanad ” , cermati kata ” semua
“padahal dua (2) dari 4 riwayat yang dibawakan Ustadz Abu Salafy
memiliki sanad seperti riwayat Abu Nu`aim dan riwayat Al-Hafidz
As-sayyid Az-zabidi dalam it-tihafnya , Akhlak Buruk Ustadz Firanda
terlihat jelas ketika mengatakan : ” riwayat Dusta ” tanpa menyebut
Alasan kenapa riwayat itu dicap sebagai riwayat Dusta……?
Ustadz Firanda berkata :
2. Dia menuduh bahwa Ahlus Sunnah (yang disebut Wahhabiah olehnya)
benci terhadap keluarga Nabi…, manakah buktinya ada seorang Wahhabi yang
benci terhadap keluarga Nabi??. Bukankah As-Syaikh Muhammad Bin
AbdilWahaab guru besarnya para Wahhabiyyah telah menamakan enam
anak-anaknya dengan nama-nama Alul bait???.
Jawab : lagi-lagi ustadz Firanda (wahabiyah) mengklaim sebagai Ahlu
Sunnah ? ? padahal menetapkan arah dan mencela Sahabat Nabi bukanlah
ciri ahlu Sunnah, sedangkan soal bukti seorang wahabi benci terhadap
keluarga Nabi sangat banyak dua contoh diatas kiranya cukup membuktikan
hal itu, Syeikh Muhammad bin Abdil wahhab boleh saja menamakan
anak-anaknya dengan nama Ahlul bait (sebagai tameng ) , sebab yang
dibutuhkan adalah bukti nyata dalam Prilaku beragama bukan sekedar
penamaan anak .
Ustadz Firanda berkata :
3. Menuduh Muqotil dkk sebagai mujassimah. Ana ingin tahu apa maksud dia dengan “dkk”??!!
Jawab : lagi-lagi Ustadz Firanda berlagak Pilon dan seakan tidak tahu
pernyataan Ulama tentang Muqotil dan Hajjaj bin yusuf as-saqofi ,
menurut saya ini juga trik firanda untuk menghindar dari tuduhan Tasybih
dan Tajsim.
Ustadz firanda berkata ;
Setelah ketahuan kedoknya dan tipu muslihatnya terhadap para Alul Bait,
maka Abu Salafy tidak putus asa, maka ia melancarkan tipu muslihat
berikutnya. Yaitu berusaha menukil dari para imam madzhab. Namun seperti
biasa, ia hanya mampu mendapatkan riwayat-riwayat tanpa sanad. Sungguh
aneh tapi nyata, sang ustadz berani mengkritik syaikh Al-bani namun
ternyata ilmu hadits yang dimiliki sang ustadz hanya digunakan untuk
mengkritik, dan tatkala berbicara tentang aqidah –yang sangat urgen
tentunya- ilmu haditsnya dibuang, dan berpegang pada riwayat-riwayat
tanpa sanad. Wallahul Musta’aan.
Jawab : seperti biasa lagi-lagi ustadz firanda menuduh tanpa bukti
dengan mengatakan : ” Setelah ketahuan kedoknya dan tipu muslihatnya
terhadap para Alul Bait ” , ternyata sekalipun sekolah dimadinah tidak
membuat akhlak ustadz Firanda menjadi baik , sebab Ustadz firanda hanya
bisa menuduh tanpa Bukti , yang berarti Fitnah , terlebih dalam Klaim
Ijmaknya pun Ustadz Firanda banyak membawakan Riwayat Tanpa sanad ,
lupakah jika diapun melakukan hal yang sama……..? bahkan jauh lebih parah
karena sebagian riwayat yang dibawakan Ustadz Firanda adalah riwayat
Maudhu` alias palsu.
Abu Salafy berkata :
Penegasan Imam Abu Hanifah ra.
Di antara nama yang sering juga dimanfa’atkan untuk mendukung
penyimpangan akidah kaum Mujassimah Wahhabiyah adalah nama Imam Abu
Hanifah, karenanya penting juga kita sebutkan nukilan yang nenegaskan
akidah lurus Abuhanifah tentang konsep ketuhanan. Di antaranya ia
berkata:
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق
”Perjumpaan dengan Allah bagi penghuni surga tanpa bentuk dan
penyerupaan adalah haq.”[ Syarah al Fiqul Akbar; Mulla Ali al
Qâri:138]))- demikian perkatan Abu Salafy
Firanda berkata :
Para pembaca yang budiman marilah kita mengecek kitab-kitab yang
merupakan sumber pengambilan riwayat Abu Hanifah yang dilakukan Abu
Salafy
Berkata Mulla ‘Ali Al-Qoori dalam syarah Al-Fiqh Al-Akbar hal 246 :
“Dan berkata Al-Imaam Al-A’dzom (maksudnya adalah Abu Hanifah-pent)
dalam kitabnya Al-Washiyyah : Dan pertemuan Allah ta’aala dengan
penduduk surga tanpa kayf, tanpa tasybiih, dan tanpa jihah merupakan
kebenaran”. Selesai” (Minah Ar-Roudh Al-Azhar fi syarh Al-Fiqh Al-Akbar,
karya Ali bin Sulthoon Muhammad Al-Qoori, tahqiq Wahbi Sulaimaan Gowjiy
hal 246)
Ternyata riwayat Imam Abu Hanifah di atas berasal dari sebuah kitab
yang berujudl “Al-Washiyyah” yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah.
Sebelum melanjutkan pembahasan ini, saya ingin meningatkan pembaca
tentang sebuah riwayat yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah.
Riwayat tersebut adalah perkataan beliau rahimahullah :
مَنْ قال لا أعْرِفُ ربِّي في السماء أم في الأرضِ فقد كفر، لأَنَّ
اللهَ يقول: {الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى}، و عرشه فوق سبع
سماواته.
“Barang siapa berkata, ‘Aku tidak mengetahui apakah Allah di langit
atau di bumi maka ia benar-benar telah kafir. Sebab Alllah telah
berfirman:
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى.
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arsy.” (QS. Thâhâ;5)
dan Arsy-Nya di atas tujuh lapis langit.”
Riwayat Abu Hanifah ini termaktub dalam kitab Al-Fiqhu Al-Akbar, dan
buku ini telah dinisbahkan oleh Abu Hanifah. Akan tetapi buku ini
diriwayatkan oleh Abu Muthii’ Al-Balkhi.
Al-Ustadz Abu Salafy tidak menerima riwayat ini dengan dalih
bahwasanya sanad periwayatan buku Al-Fiqhu Al-Akbar ini tidaklah sah
karena diriwayatkan oleh perawi yang tertuduh dusta.
Abu Salafy berkata :
((Pernyataan yang mereka nisbahkan kepada Abu Hanifah di atas adalah
kebohongan dan kepalsuan belaka!! Namun kaum Mujassimah memang gemar
memalsu dan junûd, bala tentara mereka berbahagia dengan penemuan
pernyataan-pernyataan palsu seperti contoh di atas!!
Pernyataan itu benar-benar telah dipalsukan atas nama Imam Abu
Hanifah… perawi yang membawa berita itu adalah seorang gembong pembohong
dan pemalsu ulung bernama Abu Muthî’ al Balkhi.
Adz Dzahabi berkata tentangnya, “ia seorang kadzdzâb (pembohong besar) wadhdhâ’ (pemalsu). Baca Mîzân al I’tidâl,1/574.
Ketika seorang perawi disebut sebagai kadzdzâb atau wadhdhâ’ itu
berarti ia berada di atas puncak keburukan kualitas… ia adalah pencacat
atas seorang perawi yang paling berat. Demikian diterangkan dalam kajian
jarhi wa ta’dîl !
Imam Ahmad berkata tentangnya:
لا ينبغي أن يُروى عنه شيئٌ.
“Tidak sepatutnya diriwayatkan apapun darinya.”
Yahya ibn Ma’in berkata, “Orang itu tidak berharga sedikitpun.”
Ibnu Hajar al Asqallani menghimpun sederetan komentar yang mencacat perawi andalan kaum Mujassimah yang satu ini:
Abu Hatim ar Razi:
كان مُرجِئا كَذَّابا.
“Ia adalah seorang murjiah pembohong, kadzdzâb.”
Adz Dzahabi telah memastikan bahwa ia telah memalsu hadis Nabi, maka
untuk itu dapat dilihat pada biografi Utsman ibn Abdullah al-Umawi.”
(Lisân al Mîzân,2/335) ))-demikian perkataan Abu Salafy sebagaiamana
bisa dilihat di http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/13/kaum-wahhabiyah-mujassimah-memalsu-atas-nama-salaf-1/)
Demikianlah penjelasan Al-Ustadz Abu Salafy Al-Majhuul.
Sekarang saya ingin balik bertanya kepada Pak Ustadz, manakah sanad periwayatan kitab Al-Washiyyah karya Abu Hanifah???
Dan sungguh aneh tapi nyata, ternyata meskipun Ustadz Abu Salafy
telah menyatakan dusta tentang buku Al-Fiqh Al-Akbar yang merupakan
periwayatan Abu Muthii’ Al-Balkhi, namun… ternyata Pak Ustadz Abu Salafy
masih juga nekat mengambil riwayat dari buku tersebut.
Jawab : 1. Ustadz Firanda menanyakan Sanad riwayat kitab ” Al-
Washiyah ” perntanyaannya : begitu penting kah ‘ Sanad ” , bagi Ustadz
Firaanda ……..? sehingga menanyakan Sanad Riwayat kitab Al-Washiyah……?
sebab ketika Abu Salafy membawakan riwayat-riwayat yang bersanad pun ,
tetap saja Ustadz Firanda menolaknya tanpa alasan yang ilmiyah…….?
2.bisakah Ustadz Firanda Al-makhdzuul, menunjukkan dimana letak
pernyataan Abu salafy : ” yang telah menyatakan dusta tentang buku
Al-Fiqh Al-Akbar yang merupakan periwayatan Abu Muthii’ Al-Balkhi…………?
(jangan-jangan Fitnah Lagi aja) , sebab kata – kata Ustadz Abu salafy
tidak menyinggung Nama Kitab . atau nama buku , yang beliau tolak adalah
soal riwayat Ucapan Imam Abu Hanifah “Barang siapa berkata, ‘Aku tidak
mengetahui apakah Allah di langit atau di bumi maka ia benar-benar telah
kafir. Sebab Alllah telah berfirman: dst , jadi yang ditolak Abu Salafy
bukan kitabnya tapi sebagian isi kitab khususnya pernyataan Imam Abu
Hanifah diatas , silahkan ustadz Firanda cermati kata-kata Abu Salafy : ”
((Pernyataan yang mereka nisbahkan kepada Abu Hanifah di atas adalah
kebohongan dan kepalsuan belaka!! Namun kaum Mujassimah memang gemar
memalsu dan junûd, bala tentara mereka berbahagia dengan penemuan
pernyataan-pernyataan palsu seperti contoh di atas!!
Pernyataan itu benar-benar telah dipalsukan atas nama Imam Abu
Hanifah… perawi yang membawa berita itu adalah seorang gembong pembohong
dan pemalsu ulung bernama Abu Muthî’ al Balkhi.
3. sehingga pernyataan ustadz Firanda : ” Dan sungguh aneh tapi
nyata, ternyata meskipun Ustadz Abu Salafy telah menyatakan dusta
tentang buku Al-Fiqh Al-Akbar yang merupakan periwayatan Abu Muthii’
Al-Balkhi, namun… ternyata Pak Ustadz Abu Salafy masih juga nekat
mengambil riwayat dari buku tersebut ” . Pernyataan Ustadz Firanda ini
Tampak benar , semata mata karena Ustadz Firanda memelintir kata-kata
Abu Salafy , dari sini terlihat jika Ustadz Firanda hanya mencari
kemenangan bukan semata-mata mencari Kebenaran.
4. penolakan Ustadz Abu Salafy diatas (soal kata-kata Imam Abu
Hanifah diatas) sama sekali tidak berarti bahwa seluruh isi kitab itu
ditolak oleh Abu Salafy , meskipun Ustadz Abu salafy menolak Rawinya (
Abu Muthi Al-Bakhli ) karena kitab Fiqhul Absath itu adalah kitab Fiqhul
Akbar itu sendiri, hanya yang diriwayatkan oleh Hammaad Bin Abi Hanifah
disebut Fiqhul Akbar sementara yang diriwayatkan Oleh Abu Mu`thi ( Rawi
yang ditolak Asbu Salafy ) disebut / dikenal dengan nama Fiqhul Absath ,
dalam fiqhul Absath itulah terdapat Ucapan Imam Abu Hanifah yang tidak
terdapat dalam Fiqhul Akbar , sehingga Abu Salafy menolak kata-kata Imam
Abu Hanifah yang terdapat dalam Fiqhul Absath itu , bukan menolak
seluruh isi kitab , sebagaimana yang di tuduhkan oleh Ustadz Firanda.
Sehingga sah-sah saja Abu Salafy menukil dari Fiqhul Absath selagi
sesuai dengan Fiqhul Akbar , karena Fiqhul Akbar diriwayatkan oleh Rawi
yang tsiqoh (terpercaya).
5. dibawah ini , silahkan pembaca yang budiman cermati , betapa
lihainya Ustadz Firanda memelintir pernyataan Ustadz Abu Salafy , yang
kemudian dia modifikasi sehingga digunakan untuk menjatuhkan Abu Salafy
Abu Salafy berkata :
Dan telah dinukil pula bahwa ia (yaitu abu hanifah) berkata:
قلت: أرأيت لو قيل أين الله تعالى؟ فقال- أي أبو حنيفة-: يقال له كان
الله تعالى ولا مكان قبل أن يخلق الخلق، وكان الله تعالى ولم يكن أين ولا
خلق ولا شىء، وهو خالق كل شىء.
”Aku (perawi) berkata, ’Bagaimana pendapat Anda jika aku bertanya,
’Di mana Allah?’ Maka Abu Hanifah berkata, ’Dikatakan untuk-Nya Dia
telah ada sementara tempat itu belum ada sebelum Dia menciptakan tempat.
Dia Allah sudah ada sementara belum ada dimana dan Dia belum meciptakan
sesuatu apapun. Dialah Sang Pencipta segala sesuatu.” [ Al Fiqhul
Absath (dicetak bersama kumpulan Rasâil Abu Hanifah, dengan tahqiq
Syeikh Allamah al Kautsari): 25])) –demikian perkataan Abu Salafy-
Ustad Firanda berkata :
Para pembaca sekalian tahukah anda apa itu kitab Al-Fiqhu Al-Absath?,
dialah kitab Al-Fiqhu Al-Akbar dengan periwayatan Abul Muthii’ yang
dikatakan dusta oleh Abu Salafy sendiri.
Lihatlah perkataan Al-Kautsari :
“Dan telah dicetak di India dan Mesir syarh Al-Fiqh Al-Akbar dengan
riwayat Abu Muthii’, dan dialah yang dikenal dengan Al-Fiqh Al-Absath
untuk membedakan dengan Al-Fiqh Al-Akbar yang diriwayatkan oleh Hammaad
bin Abi Haniifah”
Al-Kautsari juga berkata di muqoddimah tatkala mentahqiq Al-Fiqh Al-Absath :
“Dia adalah Al-Fiqhu Al-Akbar yang diriwayatkan oleh Abu Muthii’,
dikenal dengan Al-Fiqh Al-Absath untuk membedakannya dengan Al-Fiqhu
Al-Akbar yang diriwayatkan oleh Hammad bin Abi Haniifah dari ayahnya.
Dan perawi Al-Fiqh Al-Absath yaitu Abu Muthii’ dia adalah Al-Hakam bin
Abdillah Al-Balkhi sahabatnya Abu hanifah…”
Sungguh aneh tapi nyata, ternyata Al-Ustadz Abu Salafy yang telah
menyatakan kedustaan kitab Al-Fiqhu Al-Absath ternyata juga menjadikan
kitab tersebut sebagai dalil untuk mendukung hawa nafsunya. Maka kita
katakan kepada Al-Ustadz Abu Salafy–sebagaimana yang ia katakan sendiri-
: Anda wahai Abu Salafy.
Yang anehnya dalam buku Al-Fiqhu Al-Absath yang ditahqiq oleh
ulamanya Abu Salafy yang bernama Al-Kautsari terdapat nukilan yang
“mematahkan punggung” kaum jahmiyyah dan Asyaa’iroh muta’akkhirin, dan
neo Asya’iroh seperti Abu Salafy cs. Dalam buku tersebut Abu Haniifah
berkata :
Abu Hanifah berkata, “Barang siapa berkata, ‘Aku tidak mengetahui
apakah Allah di langit atau di bumi maka ia benar-benar telah kafir.
Demikian juga orang yang mengatakan “Sesunguhnya Allah di atas ‘arsy
(tapi) aku tidak tahu apakah ‘arsy itu di langit atau di bumi”
…..
Inilah kitab Al-Fiqh Al-Absath tahqiq Al-Kautsari yang dijadikan
pegangan oleh Al-Ustadz Abu Salafy. Ternyata Abu Hanifah mengkafirkan
orang yang tidak mengatakan Allah di atas langit dengan berdalil dengan
hadits Jaariyah (budak wanita) yang tatkala ditanya oleh Nabi “Dimanakah
Allah” maka sanga budak mengisyaratkan tangannya ke langit.
Penjelasan saya ini juga saya anggap cukup untuk menyingkap kesalahan pemilik blog salafytobat (lihat
Jawab :
1. pembaca yang budiman demikianlah kelihaian Ustadz Firanda dalam
memlintir kata-kata lawan diskusinya (Ustadz Abu Salafy) , yang kemudian
dengan lihainya dijadikan senjata untuk menjatuhkan Ustadz Abu Salafy ,
sebagaimana telah saya jelaskan diatas. (tentang penolakan Ustadz Abu
Salafi terhadap kata-kata Imam Abu Hanifah yang terdapat dalam Fiqhul
Absath).
selanjutnya :…………
Abu Salafy berkata ((Dalam kesempatan lain dinukil darinya (yaitu dari Abu Hanifah):
ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة
إليه واستقرار عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج، فلو كان
محتاجا لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجا إلى
الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوا
كبيرا.
”Kami menetapkan (mengakui) bahwa sesungguhnya Allah SWT beristiwâ’
di atas Arsy tanpa Dia butuh kepadanya dan tanpa bersemayam di atasnya.
Dialah Tuhan yang memelihara Arsy dan selainnya tanpa ada sedikit pun
kebutuhan kepadanya. Jika Dia butuh kepadanya pastilah Dia tidak kuasa
mencipta dan mengatur alam semesta, seperti layaknya makhluk ciptaan.
Dan jika Dia butuh untuk duduk dan bersemayam, lalu sebelum Dia
menciptakan Arsy di mana Dia bertempat. Maha Tinggi Allah dari anggapan
itu setinggi-tingginya.”[ Syarah al Fiqul Akbar; Mulla Ali al Qâri:75]
Pernyataan Abu Hanifah di atas benar-benar mematahkan punggung kaum
Mujassimah yang menamakan dirinya sebagai Salafiyah dan enggan disebut
Wahhâbiyah yang mengaku-ngaku tanpa malu mengikuti Salaf Shaleh,
sementara Abu Hanifah, demikian pula dengan Imam Ja’far, Imam Zainal
Abidin adalah pembesar generasi ulama Salaf Shelah mereka abaikan
keterangan dan fatwa-fatwa mereka?! Jika mereka itu bukan Salaf Sheleh
yang diandalkan kaum Wahhabiyah, lalu siapakah Salaf menurut mereka? Dan
siapakah Salaf mereka? Ka’ab al Ahbâr? Muqatil? Atau siapa?))-
demikianlah perkataan Abu Salafy-
Firanda berkata :
Kami katakan :
1- Isi dari nukilan tersebut sama sekali tidak berententangan dengan
aqidah Ahlus Sunnah, karena Ahlus Sunnah (Wahhabiyah/As-Salafiyah)
tatkala menyatakan Allah beristiwa di atas ‘arsy tidaklah melazimkan
bahwasanya Allah membutuhkan ‘arsy. Dan tidak ada kelaziman bahwasanya
yang berada di atas selalu membutuhkan yang di bawahnya. Jika kita
perhatikan langit dan bumi maka kita akan menyadari akan hal ini.
Bukankah langit berada di atas bumi?, bukankah langit lebih luas dari
bumi?, bukankah langit tidak butuh kepada bumi? Apakah ada tiang yang di
tanam di bumi untuk menopang langit?. Jika langit yang notabene adalah
sebuah makhluq namun tidak butuh kepada yang di bawahnya bagaimana lagi
dengan Kholiq pencipta ‘arsy.
Jawab : 1. lagi-lagi ini merupakan perkeliruan dan Talbis (penyamaran
dan pencampur adukan) dari Ustad Firanda , dia menekankan persoalan
pada ” membutuhkan ” dan ” tidak membutuhkan ” , padahal pernyataan Imam
Abu Hanifah yang dinukil ustadz Abu Salafy yang berbunyi : ” Dialah
Tuhan yang memelihara Arsy dan selainnya tanpa ada sedikit pun kebutuhan
kepadanya.” Hanyalah sebuah ” taukid atas lawazim / kelaziman-kelaziman
“sesuatu” yang berada pada sesuatu ” atau penguatan dari kata kata
sebelumnya silahkan perhatikan perkataan sang Imam :
” ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه
Dan kami mengakui Bahwasannya Allah yang maha Suci dan maha Tinggi
diatas arsynya Istawa ” , tanpa membutuhkan kepadanya dan Tanpa ber-Diam
(berada) diatasnya kata-kata sang Imam yang saya Bold diatas Luput
dari pembahasan Ustadz Firanda , atau Ustadz Firanda sengaja melakukan
Talbis sehingga kata-kata- Sang Imam tidak ditekankan dalam
pembahasannya, sebab Ustadz Firanda mempunyai Aqidah yang ber-beda
dengan Aqidah sang Imam , Aqidah Ustadz Firanda ” Allah berada diatas
Arsynya ” (mengartikan Istawa dengan Istiqror (ber-diam / berada)) ”
sementara Aqidah Imam Abu Hanifah menetapkan Istawa ” Tanpa ber-diam
(min ghoiri istiqror) diatas Arsy.
2. untuk mendukung Aqidahnya Ustadz Firanda meng-qiyaskan /
meng-analogikan Sang Maha Pencipta dengan makhluknya , dia mencontohkan
jika Langit tidak butuh kepada Bumi , tahukah Ustadz Firanda jika tidak
ada Bumi Niscaya tidak ada langit (secara Logika), tahukah Ustadz
Firanda , jika Tidak ada Bawah tidak mungkin ada Atas (secara
logika)………….? Fahamkah Ustadz Firanda apa yang dimaksud dengan kata
Butuh (ihtiaj) dan tidak butuh (min ghoiri ihtiaj) dalam masalah ini…….?
Saya yakin sebenarnya Ustadz firanda faham , hanya saja hawa Tasybih
dan Tajsim begitu dominant dalam hatinya
Ustadz Firanda berkata :
2- Nukilan dari Abu Hanifah tersebut sesuai dengan aqidah
As-Salafiyyah dan justru bertentangan dengan aqidah Abu Salafy cs.
Bukankah dalam nukilan ini Abu Hanifah menetapkan adanya sifat istiwaa?
Dan tidak mentakwil sifat istiwaa sebagaimana yang dilakukan oleh Abu
Salafy cs??. Abu Hanifah menjelaskan bahwasanya Allah beristiwaa (berada
di atas) ‘arsy akan tetapi tanpa ada kebutuhan sedikitpun terhadap
‘arsy tersebut.
jawab : lagi-lagi ustadz Firanda men-Talbis (menyamarkan) duduk
persoalan sebenarnya , adalah benar jika Imam Abu Hanifah menetapkan ”
Istiwa ” tapi Ingat , Imam Abu Hanifah tidak memahami ” Istiwa ”
sebagaimana yang dipahami oleh Ustadz Firanda , perhatikan perkataan
Imam Abu Hanifah diatas : ” Dan kami mengakui Bahwasannya Allah yang
maha Suci dan maha Tinggi diatas arsynya Istawa ” , tanpa membutuhkan
kepadanya dan Tanpa ber-Diam (berada) diatasnya ” bandingkan dengan
pemahaman ” Istiwaa ” nya Ustadz Firanda yang memahami ” Istiwa ‘ dengan
Istiqror , berdiam dan berada.
2. adapun soal takwil , ketika Imam Abu Hanifah menetapkan ” Istiwaa ”
beliau juga mengatakan : ………” dan Tanpa ber-Diam (berada) diatasnya ”
inilah Tafwidh atau Takwil Ijmali yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah
ra , beliau tidak mengartikan Istiwaa dengan ” makna asalnya ” yaitu : ”
Istiqror ” ( ber-diam / berada ) oleh karena itu beliau katakan : min
ghoiri Istiqror alaihi . semoga Ustadz Firanda faham.
ustad Firanda berkata :
3- Oleh karenanya kita katakan bahwa justru nukilan ini merupakan
boomerang bagi Abu Salafy cs yang selalu mentakwil istiwaa’ dengan makna
istaulaa (menguasi) –dan inysaa Allah hal ini akan dibahas pada
kesempatan lain. Bahkan dalam halaman yang sama yang tidak dinukil oleh
Abu Salafy ternyata Mulla ‘Ali Al-Qoori menyebutkan riwayat dari Abu
Hanifah yang membungkam Ustadz Abu Salafy cs. Marilah kita melihat
langsung lembaran tersebut yaitu dari buku Syarh Al-Fiqh Al-Akbar karya
Mulla ‘Ali Al-Qoori (hal 126)
Dan Abu hanifah rahimahullah ditanya tentang bahwasanya Allah
subhaanahu turun dari langit. maka beliau menjawab : Allah turun, tanpa
(ditanya) bagaimananya, …
Bukankah dalam nukilan ini ternyata Abu Hanifah menetapkan sifat
nuzuulnya Allah ke langit dunia?, Abu Hanifah menetapkan hal itu tanpa
takwil dan tanpa bertanya bagaimananya. Karena memang bagaimana cara
turunnya Allah tidak ada yang menetahuinya.
Jawab : justru nukilan ini semakin memperjelas jika Imam Abu Hanifah
menetapkan Tafwidh atau Takwil Ijmali , dan memperjelas jika Imam Abu
Hanifah tidak mengartikan Istiwa dengan Istiqror (berdiam / berada ) ,
dari nukilan ini semakin mempertegas perbedaan antara Aqidah Imam Abu
Hanifah dengan Aqidah Ustadz Firanda.
Berkata Abu Salafy :
Penegasan Imam Syafi’i (w. 204 H)
Telah dinukil dari Imam Syafi’i bahwa ia berkata:
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل
خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا التبديل في صفاته.
”Sesungguhnya Allah –Ta’ala- tel;ah ada sedangkan belum ada temppat.
Lalu Dia menciptakan tempat. Dia tetap atas sifat-Nya sejak azali,
seperti sebelum Dia menciptakan tempat. Mustahil atas-Nya perubahan
dalam Dzat-Nya dan pergantian pada sifat-Nya.”[ Ithâf as Sâdah,2/24]))
–demikian perkataan Abu Salafy-
Firanda berkata :
Para pembaca yang budiman marilah kita melihat sumber pengambilan Abu
Salafy secara langsung dari kitab Ithaaf As-Saadah Al-Muttaqiin 2/24
Ana katakan bahwasanya –sebagaimana kebiasaan Abu Salafy- maka
demikian juga dalam penukilan ini Abu Salafy menukil perkataan Imam
As-Syaafi’i tanpa sanad, maka kami berharap pak Ustadz Abu Salafy cs
untuk mendatangkan sanad periwayatan dari Imam As-Syafii ini.
Jawab : gaya ustadz Firanda yang seolah berjiwa besar dan bertindak
Ilmiyah , nyatanya jika didatangkan sanadnya dia akan tolak lagi dengan
mengatakan : mana Bioghrafi para rawinya…..? mana Hasil
Takhrijnya…………….? Apakah diambil dari sumber-sumber terper caya…..? dan
lain sebagainya. Padahal Ustadz Firanda sendiri membawakan riwayat tanpa
sanad , dan kalaupun bersanad Ustadz Firanda juga tidak menyertakan
bioghrafi para rawinya , tidak pula menyertakan hasil Takhrijnya , oleh
karena itu sebelum menanyakan dan meminta pada orang lain sebaiknya
ustadz Firanda Instrospeksi diri.
Abu Salafy berkata :
Penegasan Imam Ahmad ibn Hanbal (W.241H)
Imam Ahmad juga menegaskan akidah serupa. Ibnu Hajar al Haitsami
menegaskan bahwa Imam Ahmad tergolong ulama yang mensucikan Allah dari
jismiah dan tempat. Ia berkata:
وما اشتهر بين جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من أنه قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه.
”Adapun apa yang tersebar di kalangan kaum jahil yang menisbatkan
dirinya kepada sang imam mulia dan mujtahid bahwa beliau meyakini
tempat/arah atau semisalnya adalah kebohongan dan kepalsuan belaka atas
nama beliau.”[ Al Fatâwa al Hadîtsiyah:144.] –demikian perkataan Abu
Salafy-
Firanda berkata :
Pada nukilan di atas sangatlah jelas bahwasanya Abu Salafy tidak sedang
menukil perkataan Imam Ahmad, akan tetapi sedang menukil perkataan Ibnu
Hajar Al-Haitsami tentang Imam Ahmad. Ini merupakan tadliis dan talbiis.
Abu Salafy membawakan perkataan Ibnu Hajr Al-Haitsami ini dibawah sub
judul “Penegasan Imam Ahmad”, namun ternyata yang ia bawakan bukanlah
perkataan Imam Ahmad apalagi penegasan. Seharusnya sub judulnya :
“Penegasan Ibnu Hajr Al-Haitsami”.
Jawab : ya sudah tinggal ganti aja sub judulnya menjadi “Penegasan
Ibnu Hajr Al-Haitsami”. Silahkan ustadz firanda menkomentarinya , jangan
Cuma mengalihkan perhatian pada soal lain.
Abu Salafy berkata:
Penegasan Imam Ghazzali:
Imam Ghazzali menegaskan dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn-nya,4/434:
أن الله تعالى مقدس عن المكان ومنزه عن الاقطار والجهات وأنه ليس داخل
العالم ولا خارجه ولا هو متصل به ولا هو منفصل عنه ، قد حير عقول أقوام حتى
أنكروه إذ لم يطيقوا سماعه ومعرفته ”
“Sesungguhnya Allah –Ta’ala- Maha suci dari tempat dan suci dari
penjuru dan arah. Dia tidak di dalam alam tidak juga di luarnya. Ia
tidak bersentuhan dengannya dn tidak juga berpisah darinya. Telah
membuat bingun akal-akal kaum-kaum sehingga mereka mengingkari-Nya,
karena mereka tidak sanggunp mendengar dan mengertinya.”
Dan banyak keterangan serupa beliau utarakan dalam berbagai karya berharga beliau.
Penegasan Ibnu Jauzi
Ibnu Jauzi juga menegaskan akidah Isla serupa dalam kitab Daf’u Syubahi at Tasybîh, ia berkata:
وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه ، لان الدخول والخروج من لوزام المتحيزات.
“Demikian juga harus dikatakan bahwa Dia tidak berada di dalam alam
dan tidak pula di luarnya. Sebab masuk dan keluar adalah konsekuensi
yang mesti dialami benda berbentuk.”[ Daf’u Syubah at Tasybîh (dengan
tahqiq Sayyid Hasan ibn Ali as Seqqaf):130])) –demikian perkataan Abu
Salafy-
Firanda berkata :
Rupanya tatkala Abu Salafy tidak mampu untuk menemukan satu
riwayatpun dari kalangan salaf dengan sanad yang shahih yang mendukung
aqidah karangannya maka ia terpaksa mengambil perkataan para ulama
mutaakhkhiriin semisal Al-Gozaali yang wafat pada tahun 506 H dan Ibnu
Jauzi yang wafat pada tahun 597 H.
Adapun Al-Gozaali maka Abu Salafy menukil perkataannya dari kitab
Ihyaa ‘Uluum Ad-Diin. Sesungguhnya para ulama telah mengingatkan akan
kerancuan pemikian aqidah Al-Gozaali dalam kitabnya ini. Diantara
kerancuan-kerancuan tersebut perkataan Al-Gozaali :
“Dihikayatkan bahwasanya Abu Turoob At-Takhsyabi kagum dengan seorang
murid, Abu Turob mendekati murid tersebut dan mengurusi
kemaslahatan-kemaslahatan sang murid, sedangkan sang murid sibuk dengan
ibadahnya dan wajd-wajdnya. Pada suatu hari Abu Turob berkata kepada
sang murid, “Kalau seandainya engkau melihat Abu Yaziid”, sang murid
berkata, “Aku sibuk”. Tatkala Abu Turob terus menerus dan serius
mengulang-ngulangi perkataannya, “Kalau seandainya engkau melihat Abu
Yaziid”, akhirnya sang muridpun berkata, “Memangnya apa yang aku lakukan
terhadap Abu Yaziid, aku telah melihat Allah yang ini sudah cukup
bagiku sehingga aku tidak perlu dengan Abu yaziid”. Abu Turoob berkata,
“Maka dirikupun naik pitam dan aku tidak bisa menahan diriku, maka aku
berkata kepadanya : “Celaka engkau, janganlah engkau terpedaya dengan
Allah Azza wa Jalla, kalau seandainya engkau melihat Abu Yaziid sekali
maka lebih bermanfaat bagimu daripada engkau melihat Allah tujuh puluh
kali”. Maka sang muridpun tercengang dan mengingkari perkataan Abu
Turoob. Iapun berkata, “Bagaimana bisa demikian?”. Abu Turoob berkata,
“Celaka engkau, bukankah engkau melihat Allah di sisimu, maka Allahpun
nampak untukmu sesuai dengan kadarmu, dan engkau melihat Abu Yaziid di
sisi Allah dan Allah telah nampak sesuai dengan kadar abu Yaziid”. Maka
sang murid faham dan berkata, “Bawalah aku ke Abu Yaziid”…
Aku berkata kepada sang murid, “Inilah Abu Yaziid, lihatlah dia”,
maka sang pemuda (sang murid)pun melihat Abu Yaziid maka diapun pingsan.
Kami lalu menggerak-gerakan tubuhnya, ternyata ia telah meninggal
dunia. Maka kamipun saling bantu-membantu untuk menguburkannya. Akupun
berkata kepada Abu Yaziid, “Penglihatannya kepadamu telah membunuhnya”.
Abu Yaziid berkata, “Bukan demikian, akan tetapi sahabat kalian tersebut
benar-benar dan telah menetap dalam hatinya rahasia yang tidak
terungkap jika dengan pensifatan saja (sekedar cerita saja). Tatkala ia
melihatku maka terungkaplah rahasia hatinya, maka ia tidak mampu untuk
memikulnya, karena dia masih pada tingkatan orang-orang yang lemah yaitu
para murid, maka hal ini membunuhnya”.
Al_Gozzaalii mengomentari kisah ini dengan berkata, “Ini merupakan
perkara-perkara yang mungkin terjadi. Barangsiapa yang tidak memperoleh
sedikitpun dari perkara-perkara ini maka hendaknya jangan sampai dirinya
kosong dari pembenaran dan beriman terhadap mungkinnya terjadi
perkara-perkara tersebut….”
Oleh karenanya para ulama memperingatkan akan kerancuan-kerancuan yang terdapat dala kitab Ihyaa’ uluum Ad-Diin.
Yang anehnya… diantara para ulama yang keras dalam memperingatkan kerancuan kitab ini adalah Ibnu Jauzi sendiri.
Ibnul Jauzi berkata (dalm kitabnya Talbiis Ibliis, tahqiq DR Ahmad bin Utsmaan Al-Maziid, Daar Al-Wathn, 3/964-965):
Dan datang Abu haamid Al-Gozzaali lalu iapun menulis kitab “Ihyaa
(Uluum Ad-Diin-pent)”… dan dia memenuhi kitab tersebut dengan
hadits-hadits yang batil –dan dia tidak mengetahui kebatilan
hadits-hadits tersebut-. Dan ia berbicara tentang ilmu Al-Mukaasyafah
dan ia keluar dari aturan fiqh. Ia berkata bahwa yang dimaksud dengan
bintang-bintang, matahari, dan rembulan yang dilihat oleh Nabi Ibrohim
merupkan cahaya-cahaya yang cahaya-cahaya tersebut merupakan
hijab-hijabnya Allah. Dan bukanlah maksudnya benda-benda langit yang
sudah ma’ruuf.”. Mushonnif (Ibnul Jauzi) berkata, “Perkataan seperti ini
sejenis dengan peraktaan firqoh Bathiniyah”. Al-Gozzaali juga berkata
di kitabnya “Al-Mufsih bil Ahwaal” : Sesungguhnya orang-orang sufi
mereka dalam keadaan terjaga melihat para malaikat, ruh-ruh para nabi,
dan mendengar suara-suara dari mereka, dan mengambil faedah-faedah dari
mereka. Kemudian kondisi mereka (yaitu orang-orang sufi) pun semakin
meningkat dari melihat bentuk menjadi tingkatan derajat-derajat yagn
sulit untuk diucapkan”
Dan masih banyak perkataan para ulama yang mengingatkan akan
bahayanya kerancuan-kerancuan pemikiran Al-Gozzaali, diantaranya
At-Turtusi, Al-Maaziri, dan Al-Qodhi ‘Iyaadh.
Maka saya jadi bertanya tentang kitab Ihyaa Uluum Ad-Diin, apakah
kita mengikuti pendapat Ustadz Abu Salafy yang majhuul untuk menjadikan
kitab tersebut sebagai sumber aqidah?, ataukah kita mengikuti perkataan
Ibnu Jauzi??
Adapun perkataan Ibnul Jauzi maka sesungguhnya Ibnul Jauzi dalam
masalah tauhid Al-Asmaa was sifaat mengalami kegoncangan, sebagaimana
dijelaskan oleh Ibnu Rojab Al-Hanbali. Beliau berkata :
“Dan diantara sebab kritkan orang-orang terhadap Ibnul Jauzi –yang
ini merupakan sebab marahnya sekelompok syaikh-syaikh dari para sahabat
kami (yaitu syaikh-syaikh dari madzhab hanbali-pent) dan para imam
mereka dari Al-Maqoodisah dan Al-’Altsiyyiin mereka marah terhadap
condongnya Ibnul Jauzi terhadap takwiil pada beberapa perkatan Ibnul
Jauzi, dan keras pengingkaran mereka terhadap beliau tentang takwil
beliau.
Meskipun Ibnul Jauzi punya wawasan luas tentang hadits-hadits dan
atsar-atsar yang berkaitan dengan pembahasan ini hanya saja beliau tidak
mahir dalam menghilangkan dan menjelaskan rusaknya syubhat-syubhat yang
dilontarkan oleh para ahli kalam (filsafat). Beliau mengagungi Abul
Wafaa’ Ibnu ‘Aqiil… dan Ibnu ‘Aqiil mahir dalam ilmu kalam akan tetapi
tidak memiliki ilmu yang sempurna tentang hadits-hadits dan atsar-atsar.
Oleh karenanya perkataan Ibnu ‘Aqiil dalam pembahasan ini mudhthorib
(goncang) dan pendapat-pendapatnya beragam (tidak satu pendapat-pent),
dan Abul Faroj (ibnul Jauzi) juga mengikuti Ibnu ‘Aqiil dalam keragaman
tersebut.” (Adz-Dzail ‘alaa Tobaqootil Hanaabilah, cetakan Daarul
Ma’rifah, hal 3/414 atau cetakan Al-’Ubaikaan, tahqiq Abdurrahman
Al-’Utsaimiin 2/487)
Para pembaca yang budiman, Ibnu Rojab Al-Hanbali telah menjelaskan
bahwasanya aqidah Ibnul Jauzi dalam masalah tauhid Al-Asmaa’ was Sifaat
tidaklah stabil, bahkan bergoncang. Dan Ibnul Jauzi –yang bermadzhab
Hanbali- telah diingkari dengan keras oleh para ulama madzhab Hanbali
yang lain. Sebab ketidakstabilan tersebut karena Ibnul Jauzi banyak
mengikuti pendapat Ibnu ‘Aqiil yang tenggelam dalam ilmu kalam
(filsafat).
Jawab : sangat disayangkan Ustadz Firanda tidak menyertakan perkataan
Ibnu Rojab Al-hanbali seperti yang dinukil oleh Al-Imam At-taqi
al-Hashni yang sezaman dengannya dalam kitab Daf`u Syabah man Syabbah wa
tamarrad halaman 123 yang mengatakan : Adalah Syeikh Zainuddin Ibn
Rojab Al-hanbali yang meyakini Kafirnya Ibnu Taimiyah dan beliau
mempunyai tulisan sebagai bantahan Untuk Ibnu Taimiyah , dan beliau (Ibn
Rojab) berkata dengan suara yang paling lantang dalam majlis-majlis
(Ilmu-pent ) As-subki mempunyai Udzur untuk mengkafirkan Ibnu Taimiyah ,
lihatlah dan resapi pernyataan Ibnu rojab untuk Ibnu Taimiyah Imam
Ustadz Firanda dan All Wahhabi.
Adapun pernyataan Ibnu Rojab yang dibawakan Ustadz firanda adalah
pernyataan sebelum Ibnu Rojab Tobat dari Aqidah tasybih dan Tajsim,
adapun setelah Taubat dari Aqidah Ibnu Taimiyah itulah perkataannya
sebagaimana saya nukil diatas.
Ustadz Firanda berkata :
Ibnul Jauzi dalam kitabnya Talbiis Ibliis mendukung madzhab At-Tafwiidh,
sedangkan dalam kitabnya Majaalis Ibni Jauzi fi al-mutasyaabih minal
Aayaat Al-Qur’aaniyah menetapkan sifat-sifat khobariyah, dan pada
kitabnya Daf’ Syubah At-Tasybiih mendukung madzhab At-Takwiil (lihat
penjelasan lebih lebar dalam risalah ‘ilmiyyah (thesis) yang berjudul
“Ibnul Jauzi baina At-Takwiil wa At-Tafwiidh” yang ditulis oleh Ahmad
‘Athiyah Az-Zahrooni. Dan bisa didownload di
http://www.4shared.com/file/246344257/16845e7/_____-__.html
Jawab : Tafwidh dan Takwil adalah manhaj atau metodologi yang
digunakan ulama Ahlu Sunnah (Asy`ariyah) dalam memahami ayat
mutasyabihat , jadi tidak aneh jika Ibnu Jauzi menggunakan dua
metodologi itu , dan sama sekali tidak menunjukkan kegoncangan Aqidah
Imam ibnu Jauzi , karena dua manhaj itulah yang digunakan Ahlu Sunnah (
Asy`ariyah), yang aneh justru Ustadz Firanda dan kelompoknya yang
menolak Tafwidh juga Takwil , disamping juga menunjukkan kegoncangan
Aqidah Ustadz Firanda sampai-sampai terjebak dalam Filsafat ” arah yang
tidak ber-wujud.”
Ustadz Firanda berkata :
Adapun perkataan Ibnu Jauzy rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh Abu salafy yaitu :
وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه ، لان الدخول والخروج من لوزام المتحيزات.
“Demikian juga harus dikatakan bahwa Dia tidak berada di dalam alam
dan tidak pula di luarnya. Sebab masuk dan keluar adalah konsekuensi
yang mesti dialami benda berbentuk
Maka saya katakan :
Pertama : Abu Salafy kurang tepat tatkala menerjemahkan
“Al-Mutahayyizaat” dengan benda berbentuk. Yang lebih tepat adalah jika
diterjemahkan dengan “perkara-perkara yang bertempat”.
Jawab : ustadz firanda bisa meng-koreksi penterjemahan namun sayang
tetap saja salah dalam memahaminya , tidak tahukah Ustadz Firanda jika
“perkara-perkara yang bertempat”. Niscaya perkara-perkara itu
berbentuk…..? Allah maha Suci dan Maha Tinggi dari sifat-sifat
ber-tempat dan berbentuk ,
sebagaimana tergambar dalam Aqidah Bathil Ustadz Firanda.
Ustadz Firanda berkata :
Kedua : Kalau kita benar-benar merenungkan perkataan Ibnul Jauzy ini
maka sesungguhnya perkataan ini bertentangan dengan penjelasan Imam
Ahmad sebagaimana telah lalu tatkala Imam Ahmad berkata :”Jika engkau
ingin tahu bahwasanya Jahmiy adalah seorang pendusta tatkala menyangka
bahwsanya Allah di semua tempat bukan pada satu tempat tertentu, maka
katakanlah : Bukankah Allah dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?. Maka ia
akan menjawab : Iya. Katakan lagi kepadanya, “Tatkala Allah menciptakan
sesuatu apakah Allah menciptakan sesuatu tersebut dalam dzat Allah
ataukah di luar dzat Allah?”. Maka jawabannya hanya ada tiga
kemungkinan, dia pasti memilih salah satu dari tiga kemungkinan
tersebut.
Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakan sesuatu tersebut di
dalam dzat Allah maka ia telah kafir tatkala ia menyangka bahwasanya jin
dan para syaitan berada di dzat Allah.
Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakannya di luar dzat Allah
kemudian Allah masuk ke dalam ciptaannya maka ini juga merupakan
kekufuran tatkala ia menyangka bahwasanya Allah masuk di setiap tempat
dan wc dan setiap kotoran yang buruk.
Jika ia mengatakan bahwasanya Allah menciptakan mereka di luar
Dzat-Nya kemudian tidak masuk dalam mereka maka ia (si jahmiy) telah
meninggalkan seluruh aqidahnya dan ini adalah perkataan Ahlus Sunnah”
(Ar-Rod ‘alaa Al-Jahmiyyah wa az-Zanaadiqoh hal 155-156)
Jelas di sini perkataan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Allah
di luar ‘alam, tidak bersatu dengan makhluknya. Hal ini jelas
bertentangan dengan peraktaan Ibnu Jauzi yang berafiliasi kepada
madzhabnya Imam Ahmad bin Hanbal.
jawab : 1. aqidah Jahmiyah mengatakan : Allah berada pada semua
tempat dengan Dzatnya ” Aqidah Mu`tazilah mengatakan Allah berada pada
semua tempat dengan Ilmunya ” sementara Aqidah Ahlu Sunnah ( Asy`ariyah )
mengatakan : Allah ada tanpa tempat dan tanpa Arah ” sementara Aqidah
sekte Karomiyah mengatakan : Allah berada pada Arah atas , Aqidah sekte
Karomiyah ini percis sama dengan Aqidah Ustadz Firanda cs.
2.sekali lagi kita katakan : katakanlah kita terima jika kitab Ar-rodd
ala Jahmiyah adalah kitab Asli karya Imam Ahmad Ibnu Hanbal , tetap saja
pemahaman : Baa-inun min Kholqih ” bukanlah berarti ” terpisah dari
makhluknya ” , bukan pula berarti bahwa Allah diluar Alam sebagaimana
salah difahami oleh Ustadz firanda , makna yang benar dari kata
Baaa-inun adalah sebagaimana diterangkan Oleh al-Hafidz Al-Baihaqi dalam
al-asma wa as-sifat halaman 382 bab hal-hal yang datang dalam Firman
Allah :” Ar-rohman ala Arsy Istawa ” beliau berkata : ” diatas sesuatu
berbeda darinya dengan makna sesuatu itu tidak menempatinya , tidak pula
tempat itu menempatinya , tidak menyentuhnya tidak pula menyerupainya ,
dan Bainunah (baaa-inun) bukanlah terpisah , maha suci Allah Robb
(tuhan-pen) Kami dari Hulul (menempati dan menempel , begitu juga
Bainunah bukan berarti terpisah dan menjauh karena hal itu Mustahiil
bagi Allah. (Alasma wa as-sifat hal 217). penjelasaqn ini senada dengan
penjelasan Imam Al- Khuthobi dalam kitab A`lamul Hadist halaman 187.
pertanyaannya apakah Ustadz Firanda lebih Faham dari Al-Imam Al-Hafidz
Al-Baihaqi……? Sehingga mengartikan lafadz ” Baa-inun ” dengan terpisah
bahkan jauh diluar alam sana …..? adakah Ulama Ahlu Sunnah yang memahami
kata Baa-inun ” seperti yang difahami Ustadz Firanda…..?
3. saya minta kepada Ustadz Firanda untuk menunjukkan dimanakah letak
kata-kata Imam Ahmad yang mengatakan : ” bahwa Allah di luar ‘alam ” di
alinea ke berapa atau di baris ke berapa……? Perkataan Imam Ahmad yang
ustadz Firanda Nukil dari kitab AR-Rodd alal Jahmiyah sama sekali tidak
ada yang menunjukkan jika Imam Ahmad mengatakan ” bahwa Allah di luar
‘alam ” pernyataan ini murni dari Ustadz Firanda yang salah dalam
memahami perkataan Imam Ahmad ” Baaa-inun min Kholqihi ” yang sekaligus
menunjukkan Tadlis dan plintiran perkataan Imam Ahmad oleh Ustadz
Firanda. ( kalau bahasa ustadz Firanda ” ber Dusta atas nama Imam Ahmad ”
)
4. berkata Al-Imam Al-Hafidz An-nawawi dalam kitabnya Roudhotu
Tholibin 10/ 64 : sesungguhnya sebagian dari perkara-perkara yang
menyebabkan kemurtadan dari Agama Islam dan menjadikannya kafir dalam
I`tiqod adalah ” menetapkan bagi Allah sifat ” Bersatu ” maupun ”
terpisah ” dengan Makhluknya. Penjelasan ini senada dengan penjelasan
Imam Al-Baihaqi juga Imam Al- Khuthobi sehingga pernyataan Imam Ibn
Jauzi senada dan selaras dengan para Imam Lainnya yang tidak mensifati
terpisah maupun bersatu dengan Makhluknya.
5. pernyataan Imam Ahmad diatas yang dinukil Ustadz Firanda Justru
bertentangan dengan Aqidah Ibnu Taimiyah (imamnya firanda cs) yang
mengatakan : ” Bahwa Allah menciptakan Makhluknya dalam dirinya ” (
Mahallan lil Hawadist ) sementara Imam Ahmad mengatakan : ” Jika dia
menyangka bahwasanya Allah menciptakan sesuatu tersebut di dalam dzat
Allah maka ia telah kafir tatkala ia menyangka bahwasanya jin dan para
syaitan berada di dzat Allah ” , bahkan Ibnu Taimiyah lebih jauh
mengatakan ” bahwa Allah mungkin saja bersentuhan dengan Syetan dan
kenajisan ” (silahkan lihat bayan Talbisul Jahmiyah karya Ibn Taimiyah
juz 2 hal. 555dan 556) inilah Bid`ah I`tiqod terburuk yang dimunculkan
Ibnu Taimiyah maha guru sekaligus Imam Ustadz Firanda CS. Yang diambil
dari sekte sesat Karomiyah mujassimah.
Ustadz Firanda berkata :
Ketiga : Peraktaan Ibnul Jauzy –rahimahullah- “bahwasanya Allah tidak di
dalam ‘alam semesta dan juga tidak di luar alam” melazimkan bahwasanya
Allah tidak ada di dalam kenyataan, akan tetapi Allah hanya berada dalam
khayalan. Karena ruang lingkup wujud hanya mencakup dua bentuk wujud,
yaitu Allah dan ‘alam semesta, jika Allah tidak di dalam ‘alam dan juga
tidak di luar ‘alam berarti Allah keluar dari ruang lingkup wujud, maka
jadilah Allah itu pada hakekatnya tidak ada.
Jawab : perkataan ustadz Firanda diatas (point ketiga) menunjukkan
jika dalam benak Ustadz Firanda ” Allah adalah benda ” perhatikan ucapan
ustadz Firanda : “, jika Allah tidak di dalam ‘alam dan juga tidak di
luar ‘alam berarti Allah keluar dari ruang lingkup wujud, maka jadilah
Allah itu pada hakekatnya tidak ada.” Kesimpulan prematur ini
diKarenakan dalam benaknya ustadz Firanda ” Allah itu benda ” akhirnya
Ustadz Firanda tidak dapat menerima perkataan Ibnu Jauzi bahwa Allah
tidak diluar tidak juga didalam alam ” ustadz Firanda tidak sadar jika
Allah itu bukan benda yang bisa disifati : berada diluar alam , atau
disifati berada dalam Alam. Allah adalah Kholiqu kulli sya`I pencipta
segala sesuatu yang tidak boleh disifati dengan sifat-sifat yang melekat
pada benda (Makhluknya ), karena Allah Laista kamistlihi sya`I , tidak
ada yang menyerupainya sementara sifat diluar atau didalam adalah Sifat
Makhluk.
Keismpulan Ustadz Firanda :
Kesimpulan :
Demikianlah para pembaca yang budiman penjelasan tentang hakikat dari artikel yang ditulis oleh Abu Salafy.
Kesimpulan yang bisa di ambil tentang abu salafy adalah sebagai berikut :
Pertama : Ana masih bingung apakah Ustadz Abu Salafy adalah seseorang
yang berpemahaman Asyaa’iroh murni ataukah lebih parah daripada itu,
yaitu ada kemungkinan ia berpemahaman jahmiyah atau mu’tazilah. Karena
ketiga firqoh ini sepakat bahwasanya Allah tidak di atas langit.
Jawab : ustadz firanda bingung karena dalam benaknya telah mengakar
sifat-sifat makhluk , sehingga ketika Tuhan (Allah) tidak disifati oleh
sifat-sifat makhluk Ustadz Firanda Bingung. Ditambah dengan minimnya
pemahaman atas perbedaan antar kelompok Ahlu Sunnah (Asy`ariyah) dengan
kelompok Bid`ah seperti Jahmiyah dan Mu`taziilah, membuat ustadz
Firanda semakin bingung.
kesimpulan firanda Kedua : Atau bahkan ada kemungkinan Al-Ustadz
berpemahaman Syi’ah Rofidhoh yang juga berpemahaman bahwasanya Allah
tidak di atas langit. Semakin memperkuat dugaan ini ternyata Al-Ustadz
Abu Salafy banyak menukil dari buku-buku Rafidhoh. Selain itu Al-Ustadz
Abu Salafy juga dengan tegas dan jelas mengutuk Mu’awiyyah radhiallahu
‘anhu. Oleh karenanya ana sangat berharap Al-Ustadz Abu Salafy bisa
menjelaskan siapa dirinya sehingga tidak lagi majhuul. Dan bahkan ana
sangat bisa berharap bisa berdialog secara langsung dengan Al-Ustadz.
Jawab : selain sekte Mujassimah Karomiyah wahabiyah dan yang
sejenisnya (taimiyah) , berkeyakinan jika Allah maha tinggi diatas
segalanya bukan secara Fisik tetapi maha Tinggi diatas segalanya secara
Hakiki dan Mutlak tanpa Arah , adapun kutukan terhadap Mu`awiyah
Rodhiallahu anhu , tidak serta merta bisa ” menodai ” kebenaran yang
dibawa Abu Salafy bahwa Allah tidak berada dilangit , ana juga berharap
agar Ustadz Firanda jangan hanya koar-koar didunia maya , jangan hanya
menyebarkan faham-faham menyimpangnya didunia Internet , dan ana sangat
berharap agar Ustadz Firanda berdialog secara Langsung dengan
Ustadz-ustadz Ahlu Sunnah wal-jama`ah ( Asy`ariyah).
kesimpulan firanda Ketiga : Dari penjelasan di atas ternyata
Al-Ustadz Abu Salafy nekat mengambil riwayat dari buku yang telah
difonis oleh Al-Ustadz sendiri bahwa buku tersebut adalah kedusataan
demi untuk mendukung aqidah Abu Salafy. Maksud ana di sini adalah buku
Al-Fiqhu Al-Akbar karya Abu Hanifah dari riwayat Abu Muthii’ Al-Balkhi.
Jawab :dari penjelasan diatas tidak ada kata-kata Ustadz Abu Salafy
yang memvonis Dusta terhadap buku Al-Fiqhu Al-Akbar karya Abu Hanifah
dari riwayat Abu Muthii’ Al-Balkhi. Yang ada adalah Vonis Dusta terhadap
” Riwayat salah satu Ucapan Imam Abu Hanifah ” yang terdapat dalam buku
riwayat Abu Mu`thi Al-balkhi, mohon dengan Hormat ustad Firanda
tunjukkan jika yang divonis Abu Salafy adalah BUKUnya bukan hanya salah
satu riwayat dalam buku itu……..? tolong jangan main Plintir pernyataan
teman diskusi.
kesimpulan firanda Keempat : Abu Salafy juga ternyata melakukan
tadlis (muslihat) dengan memberi sub judul “Penegasan Imam Ahmad”, namun
yang dinukil oleh Al-Ustadz adalah perkataan Ibnu Hajr Al-Haitsami.
Jawab : jika kita hitung Tadlis (muslihat) Ustadz Firanda ternyata
jauh lebih banyak ketimbang yang dilakukan Ustadz Abu Salafy,
sebagaimana telah kita tunjukkan diatas.
kesimpulan firanda Kelima : Aqidah yang dipilih oleh Abu Salafy adalah sebagaimana yang dinukil oleh Abu Salafy dari Ibnul Jauzi
وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه
“Hendaknya dikatakan bahwasanya Allah tidak di dalam alam dan juga tidak diluar alam”
Inilah aqidah yang senantiasa dipropagandakan oleh Asyaa’iroh Mutaakhirin seperti Fakhrurroozi dalam kitabnya Asaas At-Taqdiis.
Dan aqidah seperti ini melazimkan banyak kebatilan, diantaranya :
- Sesungguhnya sesuatu yang disifati dengan sifat seperti ini (yaitu
tidak di dalam alam dan juga tidak di luar alam, dan tidak mungkin
diberi isyarat kepadanya) merupakan sesuatu yang mustahil. Dan sesuatu
yang mustahil menafikan sifat wujud. Oleh karenanya kelaziman dari
aqidah seperti ini adalah Allah itu tidak ada
- Perkataan mereka “Allah tidak di dalam alam dan juga tidak di luar
alam” pada hakekatnya merupakan penggabungan antara naqiidhoin
(penggabungan antara dua hal yang saling bertentangan). Hal ini sama
saja dengan perkataan “Dia tidak di atas dan juga tidak di bawah” atau
“Dia tidak ada dan juga tidak tidak ada”. Dan penggabungan antara dua
hal yang saling kontradiksi (bertentangan) sama halnya dengan meniadakan
dua hal yang saling bertentangan. Maka perkataan “Allah tidak di alam
dan juga tidak diluar alam” sama dengan perkataan “Allah tidak tidak di
alam dan juga tidak tidak di luar alam”. Dan telah jelas bahwasanya
menggabungkan antara dua hal yang saling bertentangan atau menafikan
keduanya merupakan hal yang tidak masuk akal, alias mustahil
- Pensifatan seperti ini (yaitu : tidak di dalam alam dan tidak di
luar alam, tidak di atas dan tidak di bawah) merupakan sifat-sifat
sesuatu yang tidak ada. Jika perkaranya demikian maka sesungguhnya orang
yang beraqidah terhadap Allah seperti ini telah jatuh dalam tasybiih.
Yaitu mentasybiih (menyerupakan) Allah dengan sesuatu yang tidak ada
atau mentasybiih Allah dengan sesuatu yang mustahil.
- Pensifatan Allah dengan sifat-sifat seperti ini masih lebih tidak
masuk akal dibandingkan aqidah orang-orang hululiah (seperti Ibnu Arobi
yang meyakini bahwa Allah bersatu atau menempati makhluknya). Meskipun
aqidah hulul juga tidak masuk akal akan tetapi masih lebih masuk akal
(masih lebih bisa direnungkan oleh akal) dibandingkan dengan aqidah
Allah tidak di atas dan tidak di bawah, tidak di alam dan juga tidak di
luar alam, tidak bersatu dengan alam dan tidak juga terpisah dari alam.
Jawab : kesimpulan prematur ke 5 dari Ustadz Firanda menunjukkan
dengan jelas Jika ustad Firanda tidak bisa memahami keberadaan Tuhan ”
Allah ” jika tidak disifati dengan sifat-sifat Makhluk , oleh karena itu
beliau katakan : ” Pensifatan seperti ini (yaitu : tidak di dalam alam
dan tidak di luar alam, tidak di atas dan tidak di bawah) merupakan
sifat-sifat sesuatu yang tidak ada ” , hal ini terjadi karena Ustadz
Firanda menggunakan ukuran-ukuran dan sifat-sifat Makhluk untuk
menunjukkan keberadaan Tuhan (Allah), dia (ustadz Firanda ) lupa jika
Allah bukanlah Makhluk yang bisa disifati dengan sifat-sifat Makhluk ,
ustadz firanda juga lupa jika Allah mengatakan ” Tidak ada sesuatupun
yang menyerupainya. Fahamkah Ustadz Firanda dengan : ” TIDAK ADA YANG
MENYERUPAINYA……..? ”
2. bagi Ustad firanda Aqidah Ahli Bid`ah lebih Masuk akal ketimbang
Aqidah Ahlu Sunnah (Asy`ariyah) , sehingga Ustadz Firanda lebih memilih
Aqidah Ahlu Bid`ah ” Karomiyah ” ketimbang Aqidah Ahlu Sunnah
(Asy`ariyah) , sehingga tidak aneh jika ustadz Firanda pun akhirnya
bersepakat dengan sekte orang-orang hululiah (seperti Ibnu Arobi yang
meyakini bahwa Allah bersatu atau menempati makhluknya “-Ibnu Arobi
terlepas dari aqidah hulul- ahmad syahid). Karena Ustadz Firanda
mengatakan : ” bahwa Allah berada pada Arah Yang tidak berwujud ” yang
artinya Allah Hulul atau menempati Makhluknya yang bernama Arah yang
tidak ber-wujud , lupakah ustadz firanda jika ” apapun namanya Selain
Allah adalah Makhluknya…….?
kesimpulan firanda Keenam : Abu Salafy menolak keberadaan Allah di
atas karena meyakini hal ini melazimkan Allah akan diliputi oleh tempat
yang merupakan makhluk. Maka kita katakana, aqidahnya ini menunjukan
bahwasanya Abu Salafylah yang terjerumus dalam tasybiih, dan dialah yang
musyabbih. Kenapa…??. Karena Abu Salafy sebelum menolak sifat Allah di
atas langit ia mentasybiih dahulu Allah dengan makhluk. Oleh karenanya
kalau makhluk yang berada di atas sesuatu pasti diliputi oleh tempat.
Karenanya Abu Salafy mentasybiih dahulu baru kemudian menolak sifat
tingginya Allah.
Ternyata hasil aqidah yang diperoleh Abu Salafy juga merupakan bentuk
tasybiih. Karena aqidah Abu Salafy bahwasanya Allah tidak di dalam
‘alam dan juga tidak di luar alam merupakan bentuk mentasybiih Allah
dengan sesuatu yang tidak ada atau sesuatu yang mustahil (sebagaimana
telah dijelaskan dalam point kelima di atas). Jadilah Abu Salafy
musyabbih sebelum menolak sifat dan musyabbih juga setelah menolak sifat
Allah.
jawab : 1. Aqidah Ahlu Sunnah Wal-jama`ah ( Asy`ariyah) meyakini jika
Allah diatas seluruh makhluknya dan Allah Istawa diatas Arsynya , hanya
saja , atas , Istawa juga ketinggian tidak difahami secara fisikly /
dzat , sebagaimana yang difahami Ustadz Firanda cs , sehingga menetapkan
Arah dan tempat yang bernama Arah yang tidak ber-wujud , begitu juga
Aqidah Abu salafy berlandaskan kepada Hadist Shahih ” kaana Allah walam
yakun Syai`un Ghoiruh ” Allah telah ada sebelum selainnya ada ”
ditegaskan oleh Hadist : ” Allahumma anta dhair fa laista fawqoka Sya`I
wa anta Bathin falaista duunaka Sya`iy , ” ya Allah engkaulah
Adz-dzhahir yang tidak ada sesuatu diatasmu dan engkaulah al-bathin yang
tidak ada sesuatu dibawahmu. Dua hadist ini bertentangan dengan Aqidah
ustadz firanda cs.
2. jika dalam membayangkan adanya Arah dan tempat (untuk menetapkan
hukum) saja sudah disebut dihukumi dan di cap sebagai Musyabih , lantas
bagaimana dengan Ustadz Firanda cs, yang menetapkan Arah dan Tempat Bagi
Allah….…..? inilah perkeliruan Ustadz Firanda untuk mendukung Aqidahnya
yang Fasid.
3. dari jawaban point satu jelaslah jika Abu Salafy bukanlah
Musyabbih seperti yang dituduhkan Ustadz Firanda , dan jelas jika Abu
Salafy adalah Muttabi` , pengikut Aqidah Rosulallah SAW , Justru Ustadz
Firandalah yang Musyabih karena menetapkan Arah dan tempat bagi Allah ,
layaknya Makhluk yang tidak bisa lepas dari Arah dan tempat , bahkan
ustadz firanda pun ber Aqidah Hulul karena bagi ustadz Firanda , Allah
berada (bertempat) di Arah yang tidak ber-wujud -, yang berarti Allah
menempati makhlunya yang bernama ” Arah yang tidak ber-wujud”. Dan
jelaslah jika Ustadz firanda adalah seorang Mubtadi` (Ahlul Bid`ah )
sebab dalam Alqur`an maupun Hadist tidak pernah disebut adanya ” Arah
yang tidak ber-wujud ” .
kesimpulan firanda Ketujuh : Abu Salafy tidak menemukan satu
perkataan salaf (dari generasi sahabat hingga abad ke tiga) yang
mendukung aqidahya, oleh karenanya Abu Salafypun nekat untuk berdusta
atau mengambil dari riwayat-riwayat yang tidak jelas dan tanpa sanad,
atau dia berusaha mengambil perkataan-perkataan para ulama mutaakhiriin.
Jawab : 1. sangat banyak perkataan Salaf As-shalihin yang mendukung
Aqidah ” Allah ada tanpa tempat dan tanpa Arah ” , (jika ingin
disebutkan satu-persatu tentu bisa jadi satu buku Full karena jumlahnya
ratusan ) , satu contoh yang tidak bisa dipungkiri (meskipun Bin Baz dan
pembesar wahabi lainnya memungkiri) adalah ” kitab Aqidah At-thohawiyah
yang menyebutkan : ” jika Allah maha suci dari batasan-batasan (huduud)
dan ujung sesuatu / akhir sesuatu (ghoyaat). , ( batasan hanya melekat
pada sifat-sifat makhluk begitu juga akhir sesuatu atau ujung sesuatu
hanya melekat pada makhluk.-pent)
2. semua riwayat yang dibawakan ustadz Firanda untuk mendukung aqidah
fasidnya , hanya berdasarkan kepada Riwayat – riwayat yang tidak sah ,
Mungkar bahkan Palsu (maudhu`) sebagaimana telah kita Ungkap
satu-persatu dalam ” Klaim Ijmak ” yang di da`wakan oleh ustadz Firanda ,
dan ternyata Salaf bagi Ustadz Firanda tidak sama dengan salaf versi
Ahlu Sunnah ( Asy`ariyah) , salaf versi ustadz Firanda adalah para
Pembohong dan pemalsu Hadist seperti Ibnu Bathoh al-`ukbary , al-hakari
dan yang sejenisnya. ( entah ditaro dimana jargon ” hanya mengunakan
hadist2 Shahihnya ” atau itu hanya sekedar jargon untuk mengelabui orang
awam…..?
3. riwayat – riwayat tidak sah , Mungkar dan Maudhu` yang dibawakan
Ustadz firanda ternyata hanya dijadikan bumpher dan batu loncatan untuk
menyemir Aqidah (falsafat) Asli sang ustadz yaitu Allah berada Pada ”
Arah yang tidak ber-wujud ” , hal ini dia lakukan untuk menghindar dari
Hukuman Ulama yang meng-Kafirkan Aqidah Hulul , namun sayang usahanya
ini gagal total dan hanya menyebabkan kekufuran diatas kekufuran.
Sebagaiman telah dijelaskan diatas , dimana falsafat ustadz firanda ini
hanya berbuah pada dua kemungkinan yang kedua-duanya adalah kekufuran.
4. setelah semua Tipu Muslihat Ustadz Firanda terbongkar , dimana
seluruh riwayat yang dibawakannya ” Jatuh ” dimata Ulama Ahlu Sunnah (
Asy`ariyah ) dan ” Jatuh ” dimata Ulama Jarh wa at-ta`dil , apakah sikap
selanjutnya yang akan diambil oleh Ustadz firanda………..?
Ala kulli Haal , sesungguhnya semua Bani Adam adalah pembuat
kesalahan , dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang
mau ber-Taubat .
Demikian semoga bermanfa`at .
mantaaf kang....hadeh yang kaya gini kudu baca di ulang2...seharian baru muudeng .... ampe puyeng saya.... kesimpulan yang bisa ane tanggep :
BalasHapus1. ust.firanda menanggapi apa yang dia simpulkan tapi tidak menanggapi apa yang ust abu salafi maksudkan dengan jelas...kasihan sekali..
2.ust.firanda sering memotong perkataan ulama... tanpa mengurngi rasa hormat saya
3.ust.abu salafi terlalu membingungkan buat ke AMBIGUAN ust.firanda..
4.andai allah ada di arsy "menetap" seperti keyakinan mereka....berarti alangkah jauhnya tuhan dengan ciptaan nya..... ini andai kita ngikutin pemahamn dia lhoh bukan berarti menafikan ayat mutasybih....
5.ada sesuatu yang bisa dibuktikan dengan akal dan bisa di bayangkan (makhluq) dan ada sesuatu yang bisa dibuktikan dengan akal tapi tidak bisa di bayangkan (allah)..... karena sesuatu yang kita bayangkan adalah sesuatu yang pernah kita lihat,dengar,rasa dan terindra atau gabungan dari itu semua...... alngkah hebat nya mereka yang bisa membayangkan tuhan berada di atas sambil duduk..
7.imam romli asyafi'i menyiapkan 8 lembar jawaban untuk membantah pemahaman allah di arah atas..silahkan buka fatawa romli bab-bab terkahir... sangat masuk akal dan sesuai dengan hujjah2 beliau yang mneghadirkan pendapat ulama salaf..
mr.blue pamit...nuhun sewuu.. lanjut kan kaaang....
nomor 6 digabung di nomor 5...
BalasHapus