Selasa, 01 Januari 2013

Keberadaan Allah 1

Salah satu ulama Al Azhar, Al Muhaddits Syeikh Ahmad bin Shiddiq Al Ghumari Al Maghribi (1380 H) telah menyebutkan alasan kenapa disyariatkan menengadahkan tangan ke langit saat berdoa. Dalam beliau, Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah (hal.61), beliau mengatakan,
”Jika ada yang mengatakan,’kalau Allah Ta’ala terbebas dari arah, lantas kenapa menengadahkan tangan ke langit saat berdoa?’”
Beliau menjawab pertanyaan itu dengan jawaban Imam At Thurthusi (529 H), ulama Malikiyah dari Iskandariyah, yang termaktub dalam Ithaf As Sadah Al Muttaqin, syarah Ihya Ulum Ad Din (5/34,35). Dalam jawaban itu, At Thurthusi memberikan dua jawaban:
Pertama: Hal itu berkenaan dengan masalah ubudiyah, seperti menghadap kiblat saat melaksanakan shalat, dan meletakkan kening ke bumi saat sujud, yang juga mensucikan Allah dari tempat, baik itu Ka’bah maupun tempat sujud. Sehingga, seakan-akan langit merupakan kiblat saat berdoa.
Kedua : Karena langit adalah tempat turunnya rizki, rahmat dan keberkahan, sebagaimana hujan turun dari langit ke bumi. Demikian pula, langit merupakan tempat para malaikat, dimana Allah memutuskan maka perintah itu tertuju kepada mereka, hingga mereka menurunkannya ke penduduk bumi. Ringkasnya, langit adalah tempat pelaksanaan keputusan, maka doa ditujukan ke langit.
Jawaban At Thurtusi di atas sejatinya merujuk kepada jawaban Al Qadhi Ibnu Qurai’ah (367 H), saat ditanya oleh Al Wazir Al Muhallabi (352 H), seorang menteri Baghdad yang amat dekat dengan para ulama. Dimana suatu saat Al Muhallabi menanyakan,“Saya melihatmu menengadahkan tangan ke langit dan merendahkan kening ke bumi, di mana sebenarnya Dia (Allah Ta’ala)?
Ibnu Qurai’ah menjawab,”Sesungguhnya kami menengadahkan tangan ke tempat-tempat turunnya rizki. Dan merendahkan kening-kening kami ke tempat berakhirnya jasad-jasad kami. Yang pertama untuk meminta rizki, yang ke dua untuk menghindari keburukan tempat kematian. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala (yang maknanya),”Dan di langit rizki kalian dan apa-apa yang dijanjikan.” (Ad Dzariayat: 22). Dan Allah Ta’ala berfirman (yang maknya),”Darinya Kami ciptakan kalian, dan padanya Kami kembalikan kalian.” (Thaha: 55).

KITAB AL-IBANAH (tahrif?)


Oleh: Abu Syafiq (012-2850578)
Setelah merujuk kepada semua cetakan kitab Al-Ibanah didapati tiada suatu cetakan pun yang mengatakan “Allah Bersemayam Atas Arasy” dan tidak wujud langsung perkataan “Allah Duduk Atas Arasy” sepertimana yang didakwa oleh Wahhabi. Bahkan tertera pada cetakan kitab Al-Ibanah ‘An Usuli Adiyanah oleh Imam Abu Hasan Al-Asya’ry yang diTahkik Oleh Dr. Fauqiyah Husain Mahmoud Prof Di Universiti “ain Syams Kaherah Mesir cetakan 2 Tahun 1987M didapati dalam kitab Al-Ibanah tersebut
Imam Abu Hasan Al-Asya’ary menyatakan : ” Istiwa Allah bukan bersentuhan, bukan menetap, bukan mengambil tempat, bukan meliputi Arasy, bukan bertukar-tukar tempat, bukanlah Allah di angkat oleh Arasy bahkan arasy dan malaikat pemikul arasylah yang diangkat oleh Allah dengan kekuasaanNya, dan mereka dikuasai oleh Allah dengan keagunganNya “. Lihat kitab di atas yang telah Disacn dan perhatikan pada line yang telah dimerahkan.
Amat jelas Imam Abu Hasan Al-Asy’ary menafikan TEMPAT bagi Allah dan juga beliau menolak akidah kufur yang mendakwa Allah Berada Diatas Arasy Mengambil Arasy Sebagai TempatNya… Ini adalah akidah kufur yang ditolak oleh Imam Al-Asy’ary.
Sungguh jijik dan jahat golongan Wahhabi menokok dan menukar serta membohongan kitab Imam Sunnah Abu Hasan Al-Asy’ary.”

Firanda vs Abu Salafy mengenai Tasybiih 3

Ustadz Firanda berkata :
Dan rupanya Abu Salafy sadar bahwasanya tipu muslihatnya ini akan tercium juga –karena kami yakin Al-Ustadz Abu Salafy Al-Majhuul adalah ustadz yang mengerti akan ilmu hadits, dan mengerti akan definisi hadits shahih, oleh karenanya berani untuk mengkritik As-Syaikh Al-Albani rahimahullah-. Oleh karenanya agar tidak dituduh dengan tuduhan macam-macam,
Jawab : rupanya Ustadz Firanda tidak sadar jika tipu muslihatnya ini , akan tercium juga –karena kami yakin Al-Ustadz Firanda Al-Makhdzuul adalah ustadz yang mengerti akan ilmu hadits, dan mengerti akan definisi hadits shahih, namun tetap saja membawakan riwayat-riwayat dengan Sanad yang Tidak sah Mungkar bahkan Palsu (maudhu`) , padahal dalam Mukhtashar Al-uluw As-Syaikh Al-Albani pun , mengakui adanya Rawi-rawi yang majhul dalam sanad yang dibawakan Ustadz Firanda dalam Klaim Ijmaknya itu, Silahkan lihat Mukhtashor al-uluw al-albani
Ustadz Firanda berkata :
maka Al-Ustadz Al-Majhuul segera membungkusi tipu muslihatnya ini dengan berkata :
Peringatan:
Mungkin kaum Wahhabiyah Mujassimah sangat keberatan dengan penukilan kami dari para tokoh mulia dan agung keluarga Ahlulbait Nabi saw. dan kemudian menuduh kami sebagai Syi’ah! Sebab sementara ini mereka hanya terbiasa menerima informasi agama dari kaum Mujassimah generasi awal seperti ka’ab al Ahbâr, Muqatil dkk.. Jadi wajar saja jika mereka kemudian alergi terhadap mutiara-mutoara hikmah keluarga Nabi saw. karena pikiran mereka telah teracuni oleh virus ganas akidah tajsîm dan tasybîh yang diprogandakan para pendeta Yahudi dan Nasrani yang berpura-pura memeluk Islam!
Dan sikap mereka itu sekaligus bukti keitdak sukaan mereka terhadap keluarga Nabi Muhammad saw. seperti yang dikeluhkan oleh Ibnu Jauzi al Hanbali bahwa kebanyakan kaum Hanâbilah itu menyimpang dari ajaran Imam Ahmad; imam mereka dan terjebak dalam faham tajsîm dan tasybîh sehingga seakan identik antara bermazhab Hanbali dengan berfaham tajsîm, dan di tengah-tengah mereka terdapat jumlah yang tidak sedikit dari kaum nawâshib yang sangat mendengki dan membenci Ahlulbait Nabi saw. dan membela habis-habisan keluarga tekutuk bani Umayyah; Mu’awiyah, Yazid …. .[ Muqaddimah Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu Jauzi])) –demikianlah perkataan abu.
Jawab : justru ustadz Firanda yang membungkus tipu muslihatnya dengan sanad-sanad riwayat yang tidak sah , Mungkar dan Palsu. Ustadz firanda juga membungkus tipu muslihatnya dengan tekhnik-tekhnik licik dalam bantahannya untuk Abu Salafy ini , semoga para pembaca budiman bisa mencermati hal ini.
Firanda berkata :
Lihatlah bagaimana buruknya akhlaq Abu Salafy yang hanya bisa menuduh Ahlus Sunnah dengan tuduhan-tuduhan yang kasar namun tanpa bukti. Perkataannya ini mengandung beberapa pengakuannya :
1. Dia sudah sadar kalau bakalan dituduh mengekor Syia’h namun kenyataannya adalah demikian. Oleh karenanya dengan sangat berani dia mengkutuk Sahabat Mulia Mu’aawiyah radhiallahu ‘anhu. Bukankah ini adalah aqidah Syi’ah Rofidhoh???, bukankah meyakini Allah tidak di atas adalah aqidah Rofidhoh??. Imam Ahlus Sunnah manakah yang mengutuk Mu’aawiyah radhiallahu ‘anhu???!!. Kita Ahlus Sunnah cinta dengan Alu Bait, akan tetapi ternyata semua riwayat Alu Bait yang disebutkan oleh sang Ustadz Abu salafy Al-Majhuul riwayat dusta tanpa sanad.
Jawab :
1.ustadz Firanda tidak sadar jika tipu muslihatnya dalam ” Klaim Ijmaknya “, melalui riwayat-riwayat yang tidak sah Mungkar bahkan Maudhu` akan terbongkar.
2. ustadz Firanda menuduh ustadz Abu Salafy sebagai orang yang berakhlak buruk , karena katanya Abu Salafy menuduh Ahlu Sunnah (wahabiyah) tanpa bukti , hanya sayang Ustadz firanda lagi-lagi tidak sadar jika dia juga banyak menuduh riwayat Abu salfy tanpa bukti , , (seperti tuduhan dusta firanda terhadap riwayat Az-zabidi yang dinukil dari Shahifah as-sajaadiyah , yang dilakukannya tanpa bukti ) , saya berharap agar Ustadz Firanda ngaca diri .
3.Ustadz Abu Salafy bukanlah orang yang Maksum , bisa jadi abu Salafy juga membuat kesalahan , dan jika benar Abu Salafy mengutuk Sayidina Mu`awiyah Rodhiallahu anhu sayapun tidak sependapat dengan Abu Salafy dalam kutukannya itu (meskipun mu`awiyah layak mendapat celaan ) , lagi pula celaan kepada Sahabat Nabi tidak hanya Muncul dari kaum syi`ah , sebab kaum Wahabiyah pun sama mencela para Sahabat Mulia hanya caranya saja yang berbeda.
4. sejak kapan Wahabiyyun jadi Ahlu Sunnah………..? sebab salah satu ciri Ahlu Sunnah disamping ” tidak mencela Sahabat Nabi ” juga tidak menetapkan ” Arah bagi Allah “, sedangkan kaum wahabi yang ngaku salafy , mencela Sahabat Nabi (dengan cara yang berbeda dengan Syi`ah) dan menetapkan Arah bagi Allah.
5. sukurlah Jika kaum Wahabiyah mengaku mencintai Ahlul Bait , hanya saja klaim cinta itu tidak pernah berbukti , bahkan banyak bukti menunjukkan jika dihati kaum wahabiyyah sangat membenci Ahlal Bait , Contoh kecil dari bukti itu , perkataan Ustadz Firanda : ” akan tetapi ternyata ” semua ” riwayat Alu Bait yang disebutkan oleh sang Ustadz Abu salafy Al-Majhuul riwayat dusta tanpa sanad ” , cermati kata ” semua “padahal dua (2) dari 4 riwayat yang dibawakan Ustadz Abu Salafy memiliki sanad seperti riwayat Abu Nu`aim dan riwayat Al-Hafidz As-sayyid Az-zabidi dalam it-tihafnya , Akhlak Buruk Ustadz Firanda terlihat jelas ketika mengatakan : ” riwayat Dusta ” tanpa menyebut Alasan kenapa riwayat itu dicap sebagai riwayat Dusta……?
Ustadz Firanda berkata :
2. Dia menuduh bahwa Ahlus Sunnah (yang disebut Wahhabiah olehnya) benci terhadap keluarga Nabi…, manakah buktinya ada seorang Wahhabi yang benci terhadap keluarga Nabi??. Bukankah As-Syaikh Muhammad Bin AbdilWahaab guru besarnya para Wahhabiyyah telah menamakan enam anak-anaknya dengan nama-nama Alul bait???.
Jawab : lagi-lagi ustadz Firanda (wahabiyah) mengklaim sebagai Ahlu Sunnah ? ? padahal menetapkan arah dan mencela Sahabat Nabi bukanlah ciri ahlu Sunnah, sedangkan soal bukti seorang wahabi benci terhadap keluarga Nabi sangat banyak dua contoh diatas kiranya cukup membuktikan hal itu, Syeikh Muhammad bin Abdil wahhab boleh saja menamakan anak-anaknya dengan nama Ahlul bait (sebagai tameng ) , sebab yang dibutuhkan adalah bukti nyata dalam Prilaku beragama bukan sekedar penamaan anak .
Ustadz Firanda berkata :
3. Menuduh Muqotil dkk sebagai mujassimah. Ana ingin tahu apa maksud dia dengan “dkk”??!!
Jawab : lagi-lagi Ustadz Firanda berlagak Pilon dan seakan tidak tahu pernyataan Ulama tentang Muqotil dan Hajjaj bin yusuf as-saqofi , menurut saya ini juga trik firanda untuk menghindar dari tuduhan Tasybih dan Tajsim.
Ustadz firanda berkata ;
Setelah ketahuan kedoknya dan tipu muslihatnya terhadap para Alul Bait, maka Abu Salafy tidak putus asa, maka ia melancarkan tipu muslihat berikutnya. Yaitu berusaha menukil dari para imam madzhab. Namun seperti biasa, ia hanya mampu mendapatkan riwayat-riwayat tanpa sanad. Sungguh aneh tapi nyata, sang ustadz berani mengkritik syaikh Al-bani namun ternyata ilmu hadits yang dimiliki sang ustadz hanya digunakan untuk mengkritik, dan tatkala berbicara tentang aqidah –yang sangat urgen tentunya- ilmu haditsnya dibuang, dan berpegang pada riwayat-riwayat tanpa sanad. Wallahul Musta’aan.
Jawab : seperti biasa lagi-lagi ustadz firanda menuduh tanpa bukti dengan mengatakan : ” Setelah ketahuan kedoknya dan tipu muslihatnya terhadap para Alul Bait ” , ternyata sekalipun sekolah dimadinah tidak membuat akhlak ustadz Firanda menjadi baik , sebab Ustadz firanda hanya bisa menuduh tanpa Bukti , yang berarti Fitnah , terlebih dalam Klaim Ijmaknya pun Ustadz Firanda banyak membawakan Riwayat Tanpa sanad , lupakah jika diapun melakukan hal yang sama……..? bahkan jauh lebih parah karena sebagian riwayat yang dibawakan Ustadz Firanda adalah riwayat Maudhu` alias palsu.
Abu Salafy berkata :
Penegasan Imam Abu Hanifah ra.
Di antara nama yang sering juga dimanfa’atkan untuk mendukung penyimpangan akidah kaum Mujassimah Wahhabiyah adalah nama Imam Abu Hanifah, karenanya penting juga kita sebutkan nukilan yang nenegaskan akidah lurus Abuhanifah tentang konsep ketuhanan. Di antaranya ia berkata:
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق
”Perjumpaan dengan Allah bagi penghuni surga tanpa bentuk dan penyerupaan adalah haq.”[ Syarah al Fiqul Akbar; Mulla Ali al Qâri:138]))- demikian perkatan Abu Salafy
Firanda berkata :
Para pembaca yang budiman marilah kita mengecek kitab-kitab yang merupakan sumber pengambilan riwayat Abu Hanifah yang dilakukan Abu Salafy
Berkata Mulla ‘Ali Al-Qoori dalam syarah Al-Fiqh Al-Akbar hal 246 :
“Dan berkata Al-Imaam Al-A’dzom (maksudnya adalah Abu Hanifah-pent) dalam kitabnya Al-Washiyyah : Dan pertemuan Allah ta’aala dengan penduduk surga tanpa kayf, tanpa tasybiih, dan tanpa jihah merupakan kebenaran”. Selesai” (Minah Ar-Roudh Al-Azhar fi syarh Al-Fiqh Al-Akbar, karya Ali bin Sulthoon Muhammad Al-Qoori, tahqiq Wahbi Sulaimaan Gowjiy hal 246)
Ternyata riwayat Imam Abu Hanifah di atas berasal dari sebuah kitab yang berujudl “Al-Washiyyah” yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah.
Sebelum melanjutkan pembahasan ini, saya ingin meningatkan pembaca tentang sebuah riwayat yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah.
Riwayat tersebut adalah perkataan beliau rahimahullah :
مَنْ قال لا أعْرِفُ ربِّي في السماء أم في الأرضِ فقد كفر، لأَنَّ اللهَ يقول: {الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏}، و عرشه فوق سبع سماواته.
“Barang siapa berkata, ‘Aku tidak mengetahui apakah Allah di langit atau di bumi maka ia benar-benar telah kafir. Sebab Alllah telah berfirman:
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏.
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arsy.” (QS. Thâhâ;5)
dan Arsy-Nya di atas tujuh lapis langit.”
Riwayat Abu Hanifah ini termaktub dalam kitab Al-Fiqhu Al-Akbar, dan buku ini telah dinisbahkan oleh Abu Hanifah. Akan tetapi buku ini diriwayatkan oleh Abu Muthii’ Al-Balkhi.
Al-Ustadz Abu Salafy tidak menerima riwayat ini dengan dalih bahwasanya sanad periwayatan buku Al-Fiqhu Al-Akbar ini tidaklah sah karena diriwayatkan oleh perawi yang tertuduh dusta.
Abu Salafy berkata :
((Pernyataan yang mereka nisbahkan kepada Abu Hanifah di atas adalah kebohongan dan kepalsuan belaka!! Namun kaum Mujassimah memang gemar memalsu dan junûd, bala tentara mereka berbahagia dengan penemuan pernyataan-pernyataan palsu seperti contoh di atas!!
Pernyataan itu benar-benar telah dipalsukan atas nama Imam Abu Hanifah… perawi yang membawa berita itu adalah seorang gembong pembohong dan pemalsu ulung bernama Abu Muthî’ al Balkhi.
Adz Dzahabi berkata tentangnya, “ia seorang kadzdzâb (pembohong besar) wadhdhâ’ (pemalsu). Baca Mîzân al I’tidâl,1/574.
Ketika seorang perawi disebut sebagai kadzdzâb atau wadhdhâ’ itu berarti ia berada di atas puncak keburukan kualitas… ia adalah pencacat atas seorang perawi yang paling berat. Demikian diterangkan dalam kajian jarhi wa ta’dîl !
Imam Ahmad berkata tentangnya:
لا ينبغي أن يُروى عنه شيئٌ.
“Tidak sepatutnya diriwayatkan apapun darinya.”
Yahya ibn Ma’in berkata, “Orang itu tidak berharga sedikitpun.”
Ibnu Hajar al Asqallani menghimpun sederetan komentar yang mencacat perawi andalan kaum Mujassimah yang satu ini:
Abu Hatim ar Razi:
كان مُرجِئا كَذَّابا.
“Ia adalah seorang murjiah pembohong, kadzdzâb.”
Adz Dzahabi telah memastikan bahwa ia telah memalsu hadis Nabi, maka untuk itu dapat dilihat pada biografi Utsman ibn Abdullah al-Umawi.” (Lisân al Mîzân,2/335) ))-demikian perkataan Abu Salafy sebagaiamana bisa dilihat di http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/13/kaum-wahhabiyah-mujassimah-memalsu-atas-nama-salaf-1/)
Demikianlah penjelasan Al-Ustadz Abu Salafy Al-Majhuul.
Sekarang saya ingin balik bertanya kepada Pak Ustadz, manakah sanad periwayatan kitab Al-Washiyyah karya Abu Hanifah???
Dan sungguh aneh tapi nyata, ternyata meskipun Ustadz Abu Salafy telah menyatakan dusta tentang buku Al-Fiqh Al-Akbar yang merupakan periwayatan Abu Muthii’ Al-Balkhi, namun… ternyata Pak Ustadz Abu Salafy masih juga nekat mengambil riwayat dari buku tersebut.
Jawab : 1. Ustadz Firanda menanyakan Sanad riwayat kitab ” Al- Washiyah ” perntanyaannya : begitu penting kah ‘ Sanad ” , bagi Ustadz Firaanda ……..? sehingga menanyakan Sanad Riwayat kitab Al-Washiyah……? sebab ketika Abu Salafy membawakan riwayat-riwayat yang bersanad pun , tetap saja Ustadz Firanda menolaknya tanpa alasan yang ilmiyah…….?
2.bisakah Ustadz Firanda Al-makhdzuul, menunjukkan dimana letak pernyataan Abu salafy : ” yang telah menyatakan dusta tentang buku Al-Fiqh Al-Akbar yang merupakan periwayatan Abu Muthii’ Al-Balkhi…………? (jangan-jangan Fitnah Lagi aja) , sebab kata – kata Ustadz Abu salafy tidak menyinggung Nama Kitab . atau nama buku , yang beliau tolak adalah soal riwayat Ucapan Imam Abu Hanifah “Barang siapa berkata, ‘Aku tidak mengetahui apakah Allah di langit atau di bumi maka ia benar-benar telah kafir. Sebab Alllah telah berfirman: dst , jadi yang ditolak Abu Salafy bukan kitabnya tapi sebagian isi kitab khususnya pernyataan Imam Abu Hanifah diatas , silahkan ustadz Firanda cermati kata-kata Abu Salafy : ” ((Pernyataan yang mereka nisbahkan kepada Abu Hanifah di atas adalah kebohongan dan kepalsuan belaka!! Namun kaum Mujassimah memang gemar memalsu dan junûd, bala tentara mereka berbahagia dengan penemuan pernyataan-pernyataan palsu seperti contoh di atas!!
Pernyataan itu benar-benar telah dipalsukan atas nama Imam Abu Hanifah… perawi yang membawa berita itu adalah seorang gembong pembohong dan pemalsu ulung bernama Abu Muthî’ al Balkhi.
3. sehingga pernyataan ustadz Firanda : ” Dan sungguh aneh tapi nyata, ternyata meskipun Ustadz Abu Salafy telah menyatakan dusta tentang buku Al-Fiqh Al-Akbar yang merupakan periwayatan Abu Muthii’ Al-Balkhi, namun… ternyata Pak Ustadz Abu Salafy masih juga nekat mengambil riwayat dari buku tersebut ” . Pernyataan Ustadz Firanda ini Tampak benar , semata mata karena Ustadz Firanda memelintir kata-kata Abu Salafy , dari sini terlihat jika Ustadz Firanda hanya mencari kemenangan bukan semata-mata mencari Kebenaran.
4. penolakan Ustadz Abu Salafy diatas (soal kata-kata Imam Abu Hanifah diatas) sama sekali tidak berarti bahwa seluruh isi kitab itu ditolak oleh Abu Salafy , meskipun Ustadz Abu salafy menolak Rawinya ( Abu Muthi Al-Bakhli ) karena kitab Fiqhul Absath itu adalah kitab Fiqhul Akbar itu sendiri, hanya yang diriwayatkan oleh Hammaad Bin Abi Hanifah disebut Fiqhul Akbar sementara yang diriwayatkan Oleh Abu Mu`thi ( Rawi yang ditolak Asbu Salafy ) disebut / dikenal dengan nama Fiqhul Absath , dalam fiqhul Absath itulah terdapat Ucapan Imam Abu Hanifah yang tidak terdapat dalam Fiqhul Akbar , sehingga Abu Salafy menolak kata-kata Imam Abu Hanifah yang terdapat dalam Fiqhul Absath itu , bukan menolak seluruh isi kitab , sebagaimana yang di tuduhkan oleh Ustadz Firanda. Sehingga sah-sah saja Abu Salafy menukil dari Fiqhul Absath selagi sesuai dengan Fiqhul Akbar , karena Fiqhul Akbar diriwayatkan oleh Rawi yang tsiqoh (terpercaya).
5. dibawah ini , silahkan pembaca yang budiman cermati , betapa lihainya Ustadz Firanda memelintir pernyataan Ustadz Abu Salafy , yang kemudian dia modifikasi sehingga digunakan untuk menjatuhkan Abu Salafy
Abu Salafy berkata :
Dan telah dinukil pula bahwa ia (yaitu abu hanifah) berkata:
قلت: أرأيت لو قيل أين الله تعالى؟ فقال- أي أبو حنيفة-: يقال له كان الله تعالى ولا مكان قبل أن يخلق الخلق، وكان الله تعالى ولم يكن أين ولا خلق ولا شىء، وهو خالق كل شىء.
”Aku (perawi) berkata, ’Bagaimana pendapat Anda jika aku bertanya, ’Di mana Allah?’ Maka Abu Hanifah berkata, ’Dikatakan untuk-Nya Dia telah ada sementara tempat itu belum ada sebelum Dia menciptakan tempat. Dia Allah sudah ada sementara belum ada dimana dan Dia belum meciptakan sesuatu apapun. Dialah Sang Pencipta segala sesuatu.” [ Al Fiqhul Absath (dicetak bersama kumpulan Rasâil Abu Hanifah, dengan tahqiq Syeikh Allamah al Kautsari): 25])) –demikian perkataan Abu Salafy-
Ustad Firanda berkata :
Para pembaca sekalian tahukah anda apa itu kitab Al-Fiqhu Al-Absath?, dialah kitab Al-Fiqhu Al-Akbar dengan periwayatan Abul Muthii’ yang dikatakan dusta oleh Abu Salafy sendiri.
Lihatlah perkataan Al-Kautsari :
“Dan telah dicetak di India dan Mesir syarh Al-Fiqh Al-Akbar dengan riwayat Abu Muthii’, dan dialah yang dikenal dengan Al-Fiqh Al-Absath untuk membedakan dengan Al-Fiqh Al-Akbar yang diriwayatkan oleh Hammaad bin Abi Haniifah”
Al-Kautsari juga berkata di muqoddimah tatkala mentahqiq Al-Fiqh Al-Absath :
“Dia adalah Al-Fiqhu Al-Akbar yang diriwayatkan oleh Abu Muthii’, dikenal dengan Al-Fiqh Al-Absath untuk membedakannya dengan Al-Fiqhu Al-Akbar yang diriwayatkan oleh Hammad bin Abi Haniifah dari ayahnya. Dan perawi Al-Fiqh Al-Absath yaitu Abu Muthii’ dia adalah Al-Hakam bin Abdillah Al-Balkhi sahabatnya Abu hanifah…”
Sungguh aneh tapi nyata, ternyata Al-Ustadz Abu Salafy yang telah menyatakan kedustaan kitab Al-Fiqhu Al-Absath ternyata juga menjadikan kitab tersebut sebagai dalil untuk mendukung hawa nafsunya. Maka kita katakan kepada Al-Ustadz Abu Salafy–sebagaimana yang ia katakan sendiri- : Anda wahai Abu Salafy.
Yang anehnya dalam buku Al-Fiqhu Al-Absath yang ditahqiq oleh ulamanya Abu Salafy yang bernama Al-Kautsari terdapat nukilan yang “mematahkan punggung” kaum jahmiyyah dan Asyaa’iroh muta’akkhirin, dan neo Asya’iroh seperti Abu Salafy cs. Dalam buku tersebut Abu Haniifah berkata :
Abu Hanifah berkata, “Barang siapa berkata, ‘Aku tidak mengetahui apakah Allah di langit atau di bumi maka ia benar-benar telah kafir. Demikian juga orang yang mengatakan “Sesunguhnya Allah di atas ‘arsy (tapi) aku tidak tahu apakah ‘arsy itu di langit atau di bumi”
…..
Inilah kitab Al-Fiqh Al-Absath tahqiq Al-Kautsari yang dijadikan pegangan oleh Al-Ustadz Abu Salafy. Ternyata Abu Hanifah mengkafirkan orang yang tidak mengatakan Allah di atas langit dengan berdalil dengan hadits Jaariyah (budak wanita) yang tatkala ditanya oleh Nabi “Dimanakah Allah” maka sanga budak mengisyaratkan tangannya ke langit.
Penjelasan saya ini juga saya anggap cukup untuk menyingkap kesalahan pemilik blog salafytobat (lihat
Jawab :
1. pembaca yang budiman demikianlah kelihaian Ustadz Firanda dalam memlintir kata-kata lawan diskusinya (Ustadz Abu Salafy) , yang kemudian dengan lihainya dijadikan senjata untuk menjatuhkan Ustadz Abu Salafy , sebagaimana telah saya jelaskan diatas. (tentang penolakan Ustadz Abu Salafi terhadap kata-kata Imam Abu Hanifah yang terdapat dalam Fiqhul Absath).
selanjutnya :…………
Abu Salafy berkata ((Dalam kesempatan lain dinukil darinya (yaitu dari Abu Hanifah):
ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج، فلو كان محتاجا لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا.
”Kami menetapkan (mengakui) bahwa sesungguhnya Allah SWT beristiwâ’ di atas Arsy tanpa Dia butuh kepadanya dan tanpa bersemayam di atasnya. Dialah Tuhan yang memelihara Arsy dan selainnya tanpa ada sedikit pun kebutuhan kepadanya. Jika Dia butuh kepadanya pastilah Dia tidak kuasa mencipta dan mengatur alam semesta, seperti layaknya makhluk ciptaan. Dan jika Dia butuh untuk duduk dan bersemayam, lalu sebelum Dia menciptakan Arsy di mana Dia bertempat. Maha Tinggi Allah dari anggapan itu setinggi-tingginya.”[ Syarah al Fiqul Akbar; Mulla Ali al Qâri:75]
Pernyataan Abu Hanifah di atas benar-benar mematahkan punggung kaum Mujassimah yang menamakan dirinya sebagai Salafiyah dan enggan disebut Wahhâbiyah yang mengaku-ngaku tanpa malu mengikuti Salaf Shaleh, sementara Abu Hanifah, demikian pula dengan Imam Ja’far, Imam Zainal Abidin adalah pembesar generasi ulama Salaf Shelah mereka abaikan keterangan dan fatwa-fatwa mereka?! Jika mereka itu bukan Salaf Sheleh yang diandalkan kaum Wahhabiyah, lalu siapakah Salaf menurut mereka? Dan siapakah Salaf mereka? Ka’ab al Ahbâr? Muqatil? Atau siapa?))- demikianlah perkataan Abu Salafy-
Firanda berkata :
Kami katakan :
1- Isi dari nukilan tersebut sama sekali tidak berententangan dengan aqidah Ahlus Sunnah, karena Ahlus Sunnah (Wahhabiyah/As-Salafiyah) tatkala menyatakan Allah beristiwa di atas ‘arsy tidaklah melazimkan bahwasanya Allah membutuhkan ‘arsy. Dan tidak ada kelaziman bahwasanya yang berada di atas selalu membutuhkan yang di bawahnya. Jika kita perhatikan langit dan bumi maka kita akan menyadari akan hal ini. Bukankah langit berada di atas bumi?, bukankah langit lebih luas dari bumi?, bukankah langit tidak butuh kepada bumi? Apakah ada tiang yang di tanam di bumi untuk menopang langit?. Jika langit yang notabene adalah sebuah makhluq namun tidak butuh kepada yang di bawahnya bagaimana lagi dengan Kholiq pencipta ‘arsy.
Jawab : 1. lagi-lagi ini merupakan perkeliruan dan Talbis (penyamaran dan pencampur adukan) dari Ustad Firanda , dia menekankan persoalan pada ” membutuhkan ” dan ” tidak membutuhkan ” , padahal pernyataan Imam Abu Hanifah yang dinukil ustadz Abu Salafy yang berbunyi : ” Dialah Tuhan yang memelihara Arsy dan selainnya tanpa ada sedikit pun kebutuhan kepadanya.” Hanyalah sebuah ” taukid atas lawazim / kelaziman-kelaziman “sesuatu” yang berada pada sesuatu ” atau penguatan dari kata kata sebelumnya silahkan perhatikan perkataan sang Imam :
” ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه
Dan kami mengakui Bahwasannya Allah yang maha Suci dan maha Tinggi diatas arsynya Istawa ” , tanpa membutuhkan kepadanya dan Tanpa ber-Diam (berada) diatasnya kata-kata sang Imam yang saya Bold diatas Luput dari pembahasan Ustadz Firanda , atau Ustadz Firanda sengaja melakukan Talbis sehingga kata-kata- Sang Imam tidak ditekankan dalam pembahasannya, sebab Ustadz Firanda mempunyai Aqidah yang ber-beda dengan Aqidah sang Imam , Aqidah Ustadz Firanda ” Allah berada diatas Arsynya ” (mengartikan Istawa dengan Istiqror (ber-diam / berada)) ” sementara Aqidah Imam Abu Hanifah menetapkan Istawa ” Tanpa ber-diam (min ghoiri istiqror) diatas Arsy.
2. untuk mendukung Aqidahnya Ustadz Firanda meng-qiyaskan / meng-analogikan Sang Maha Pencipta dengan makhluknya , dia mencontohkan jika Langit tidak butuh kepada Bumi , tahukah Ustadz Firanda jika tidak ada Bumi Niscaya tidak ada langit (secara Logika), tahukah Ustadz Firanda , jika Tidak ada Bawah tidak mungkin ada Atas (secara logika)………….? Fahamkah Ustadz Firanda apa yang dimaksud dengan kata Butuh (ihtiaj) dan tidak butuh (min ghoiri ihtiaj) dalam masalah ini…….? Saya yakin sebenarnya Ustadz firanda faham , hanya saja hawa Tasybih dan Tajsim begitu dominant dalam hatinya
Ustadz Firanda berkata :
2- Nukilan dari Abu Hanifah tersebut sesuai dengan aqidah As-Salafiyyah dan justru bertentangan dengan aqidah Abu Salafy cs. Bukankah dalam nukilan ini Abu Hanifah menetapkan adanya sifat istiwaa? Dan tidak mentakwil sifat istiwaa sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Salafy cs??. Abu Hanifah menjelaskan bahwasanya Allah beristiwaa (berada di atas) ‘arsy akan tetapi tanpa ada kebutuhan sedikitpun terhadap ‘arsy tersebut.
jawab : lagi-lagi ustadz Firanda men-Talbis (menyamarkan) duduk persoalan sebenarnya , adalah benar jika Imam Abu Hanifah menetapkan ” Istiwa ” tapi Ingat , Imam Abu Hanifah tidak memahami ” Istiwa ” sebagaimana yang dipahami oleh Ustadz Firanda , perhatikan perkataan Imam Abu Hanifah diatas : ” Dan kami mengakui Bahwasannya Allah yang maha Suci dan maha Tinggi diatas arsynya Istawa ” , tanpa membutuhkan kepadanya dan Tanpa ber-Diam (berada) diatasnya ” bandingkan dengan pemahaman ” Istiwaa ” nya Ustadz Firanda yang memahami ” Istiwa ‘ dengan Istiqror , berdiam dan berada.
2. adapun soal takwil , ketika Imam Abu Hanifah menetapkan ” Istiwaa ” beliau juga mengatakan : ………” dan Tanpa ber-Diam (berada) diatasnya ” inilah Tafwidh atau Takwil Ijmali yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah ra , beliau tidak mengartikan Istiwaa dengan ” makna asalnya ” yaitu : ” Istiqror ” ( ber-diam / berada ) oleh karena itu beliau katakan : min ghoiri Istiqror alaihi . semoga Ustadz Firanda faham.
ustad Firanda berkata :
3- Oleh karenanya kita katakan bahwa justru nukilan ini merupakan boomerang bagi Abu Salafy cs yang selalu mentakwil istiwaa’ dengan makna istaulaa (menguasi) –dan inysaa Allah hal ini akan dibahas pada kesempatan lain. Bahkan dalam halaman yang sama yang tidak dinukil oleh Abu Salafy ternyata Mulla ‘Ali Al-Qoori menyebutkan riwayat dari Abu Hanifah yang membungkam Ustadz Abu Salafy cs. Marilah kita melihat langsung lembaran tersebut yaitu dari buku Syarh Al-Fiqh Al-Akbar karya Mulla ‘Ali Al-Qoori (hal 126)
Dan Abu hanifah rahimahullah ditanya tentang bahwasanya Allah subhaanahu turun dari langit. maka beliau menjawab : Allah turun, tanpa (ditanya) bagaimananya, …
Bukankah dalam nukilan ini ternyata Abu Hanifah menetapkan sifat nuzuulnya Allah ke langit dunia?, Abu Hanifah menetapkan hal itu tanpa takwil dan tanpa bertanya bagaimananya. Karena memang bagaimana cara turunnya Allah tidak ada yang menetahuinya.
Jawab : justru nukilan ini semakin memperjelas jika Imam Abu Hanifah menetapkan Tafwidh atau Takwil Ijmali , dan memperjelas jika Imam Abu Hanifah tidak mengartikan Istiwa dengan Istiqror (berdiam / berada ) , dari nukilan ini semakin mempertegas perbedaan antara Aqidah Imam Abu Hanifah dengan Aqidah Ustadz Firanda.
Berkata Abu Salafy :
Penegasan Imam Syafi’i (w. 204 H)
Telah dinukil dari Imam Syafi’i bahwa ia berkata:
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا التبديل في صفاته.
”Sesungguhnya Allah –Ta’ala- tel;ah ada sedangkan belum ada temppat. Lalu Dia menciptakan tempat. Dia tetap atas sifat-Nya sejak azali, seperti sebelum Dia menciptakan tempat. Mustahil atas-Nya perubahan dalam Dzat-Nya dan pergantian pada sifat-Nya.”[ Ithâf as Sâdah,2/24])) –demikian perkataan Abu Salafy-
Firanda berkata :
Para pembaca yang budiman marilah kita melihat sumber pengambilan Abu Salafy secara langsung dari kitab Ithaaf As-Saadah Al-Muttaqiin 2/24
Ana katakan bahwasanya –sebagaimana kebiasaan Abu Salafy- maka demikian juga dalam penukilan ini Abu Salafy menukil perkataan Imam As-Syaafi’i tanpa sanad, maka kami berharap pak Ustadz Abu Salafy cs untuk mendatangkan sanad periwayatan dari Imam As-Syafii ini.
Jawab : gaya ustadz Firanda yang seolah berjiwa besar dan bertindak Ilmiyah , nyatanya jika didatangkan sanadnya dia akan tolak lagi dengan mengatakan : mana Bioghrafi para rawinya…..? mana Hasil Takhrijnya…………….? Apakah diambil dari sumber-sumber terper caya…..? dan lain sebagainya. Padahal Ustadz Firanda sendiri membawakan riwayat tanpa sanad , dan kalaupun bersanad Ustadz Firanda juga tidak menyertakan bioghrafi para rawinya , tidak pula menyertakan hasil Takhrijnya , oleh karena itu sebelum menanyakan dan meminta pada orang lain sebaiknya ustadz Firanda Instrospeksi diri.
Abu Salafy berkata :
Penegasan Imam Ahmad ibn Hanbal (W.241H)
Imam Ahmad juga menegaskan akidah serupa. Ibnu Hajar al Haitsami menegaskan bahwa Imam Ahmad tergolong ulama yang mensucikan Allah dari jismiah dan tempat. Ia berkata:
وما اشتهر بين جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من أنه قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه.
”Adapun apa yang tersebar di kalangan kaum jahil yang menisbatkan dirinya kepada sang imam mulia dan mujtahid bahwa beliau meyakini tempat/arah atau semisalnya adalah kebohongan dan kepalsuan belaka atas nama beliau.”[ Al Fatâwa al Hadîtsiyah:144.] –demikian perkataan Abu Salafy-
Firanda berkata :
Pada nukilan di atas sangatlah jelas bahwasanya Abu Salafy tidak sedang menukil perkataan Imam Ahmad, akan tetapi sedang menukil perkataan Ibnu Hajar Al-Haitsami tentang Imam Ahmad. Ini merupakan tadliis dan talbiis. Abu Salafy membawakan perkataan Ibnu Hajr Al-Haitsami ini dibawah sub judul “Penegasan Imam Ahmad”, namun ternyata yang ia bawakan bukanlah perkataan Imam Ahmad apalagi penegasan. Seharusnya sub judulnya : “Penegasan Ibnu Hajr Al-Haitsami”.
Jawab : ya sudah tinggal ganti aja sub judulnya menjadi “Penegasan Ibnu Hajr Al-Haitsami”. Silahkan ustadz firanda menkomentarinya , jangan Cuma mengalihkan perhatian pada soal lain.
Abu Salafy berkata:
Penegasan Imam Ghazzali:
Imam Ghazzali menegaskan dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn-nya,4/434:
أن الله تعالى مقدس عن المكان ومنزه عن الاقطار والجهات وأنه ليس داخل العالم ولا خارجه ولا هو متصل به ولا هو منفصل عنه ، قد حير عقول أقوام حتى أنكروه إذ لم يطيقوا سماعه ومعرفته ”
“Sesungguhnya Allah –Ta’ala- Maha suci dari tempat dan suci dari penjuru dan arah. Dia tidak di dalam alam tidak juga di luarnya. Ia tidak bersentuhan dengannya dn tidak juga berpisah darinya. Telah membuat bingun akal-akal kaum-kaum sehingga mereka mengingkari-Nya, karena mereka tidak sanggunp mendengar dan mengertinya.”
Dan banyak keterangan serupa beliau utarakan dalam berbagai karya berharga beliau.
Penegasan Ibnu Jauzi
Ibnu Jauzi juga menegaskan akidah Isla serupa dalam kitab Daf’u Syubahi at Tasybîh, ia berkata:
وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه ، لان الدخول والخروج من لوزام المتحيزات.
“Demikian juga harus dikatakan bahwa Dia tidak berada di dalam alam dan tidak pula di luarnya. Sebab masuk dan keluar adalah konsekuensi yang mesti dialami benda berbentuk.”[ Daf’u Syubah at Tasybîh (dengan tahqiq Sayyid Hasan ibn Ali as Seqqaf):130])) –demikian perkataan Abu Salafy-
Firanda berkata :
Rupanya tatkala Abu Salafy tidak mampu untuk menemukan satu riwayatpun dari kalangan salaf dengan sanad yang shahih yang mendukung aqidah karangannya maka ia terpaksa mengambil perkataan para ulama mutaakhkhiriin semisal Al-Gozaali yang wafat pada tahun 506 H dan Ibnu Jauzi yang wafat pada tahun 597 H.
Adapun Al-Gozaali maka Abu Salafy menukil perkataannya dari kitab Ihyaa ‘Uluum Ad-Diin. Sesungguhnya para ulama telah mengingatkan akan kerancuan pemikian aqidah Al-Gozaali dalam kitabnya ini. Diantara kerancuan-kerancuan tersebut perkataan Al-Gozaali :
“Dihikayatkan bahwasanya Abu Turoob At-Takhsyabi kagum dengan seorang murid, Abu Turob mendekati murid tersebut dan mengurusi kemaslahatan-kemaslahatan sang murid, sedangkan sang murid sibuk dengan ibadahnya dan wajd-wajdnya. Pada suatu hari Abu Turob berkata kepada sang murid, “Kalau seandainya engkau melihat Abu Yaziid”, sang murid berkata, “Aku sibuk”. Tatkala Abu Turob terus menerus dan serius mengulang-ngulangi perkataannya, “Kalau seandainya engkau melihat Abu Yaziid”, akhirnya sang muridpun berkata, “Memangnya apa yang aku lakukan terhadap Abu Yaziid, aku telah melihat Allah yang ini sudah cukup bagiku sehingga aku tidak perlu dengan Abu yaziid”. Abu Turoob berkata, “Maka dirikupun naik pitam dan aku tidak bisa menahan diriku, maka aku berkata kepadanya : “Celaka engkau, janganlah engkau terpedaya dengan Allah Azza wa Jalla, kalau seandainya engkau melihat Abu Yaziid sekali maka lebih bermanfaat bagimu daripada engkau melihat Allah tujuh puluh kali”. Maka sang muridpun tercengang dan mengingkari perkataan Abu Turoob. Iapun berkata, “Bagaimana bisa demikian?”. Abu Turoob berkata, “Celaka engkau, bukankah engkau melihat Allah di sisimu, maka Allahpun nampak untukmu sesuai dengan kadarmu, dan engkau melihat Abu Yaziid di sisi Allah dan Allah telah nampak sesuai dengan kadar abu Yaziid”. Maka sang murid faham dan berkata, “Bawalah aku ke Abu Yaziid”…
Aku berkata kepada sang murid, “Inilah Abu Yaziid, lihatlah dia”, maka sang pemuda (sang murid)pun melihat Abu Yaziid maka diapun pingsan. Kami lalu menggerak-gerakan tubuhnya, ternyata ia telah meninggal dunia. Maka kamipun saling bantu-membantu untuk menguburkannya. Akupun berkata kepada Abu Yaziid, “Penglihatannya kepadamu telah membunuhnya”. Abu Yaziid berkata, “Bukan demikian, akan tetapi sahabat kalian tersebut benar-benar dan telah menetap dalam hatinya rahasia yang tidak terungkap jika dengan pensifatan saja (sekedar cerita saja). Tatkala ia melihatku maka terungkaplah rahasia hatinya, maka ia tidak mampu untuk memikulnya, karena dia masih pada tingkatan orang-orang yang lemah yaitu para murid, maka hal ini membunuhnya”.
Al_Gozzaalii mengomentari kisah ini dengan berkata, “Ini merupakan perkara-perkara yang mungkin terjadi. Barangsiapa yang tidak memperoleh sedikitpun dari perkara-perkara ini maka hendaknya jangan sampai dirinya kosong dari pembenaran dan beriman terhadap mungkinnya terjadi perkara-perkara tersebut….”
Oleh karenanya para ulama memperingatkan akan kerancuan-kerancuan yang terdapat dala kitab Ihyaa’ uluum Ad-Diin.
Yang anehnya… diantara para ulama yang keras dalam memperingatkan kerancuan kitab ini adalah Ibnu Jauzi sendiri.
Ibnul Jauzi berkata (dalm kitabnya Talbiis Ibliis, tahqiq DR Ahmad bin Utsmaan Al-Maziid, Daar Al-Wathn, 3/964-965):
Dan datang Abu haamid Al-Gozzaali lalu iapun menulis kitab “Ihyaa (Uluum Ad-Diin-pent)”… dan dia memenuhi kitab tersebut dengan hadits-hadits yang batil –dan dia tidak mengetahui kebatilan hadits-hadits tersebut-. Dan ia berbicara tentang ilmu Al-Mukaasyafah dan ia keluar dari aturan fiqh. Ia berkata bahwa yang dimaksud dengan bintang-bintang, matahari, dan rembulan yang dilihat oleh Nabi Ibrohim merupkan cahaya-cahaya yang cahaya-cahaya tersebut merupakan hijab-hijabnya Allah. Dan bukanlah maksudnya benda-benda langit yang sudah ma’ruuf.”. Mushonnif (Ibnul Jauzi) berkata, “Perkataan seperti ini sejenis dengan peraktaan firqoh Bathiniyah”. Al-Gozzaali juga berkata di kitabnya “Al-Mufsih bil Ahwaal” : Sesungguhnya orang-orang sufi mereka dalam keadaan terjaga melihat para malaikat, ruh-ruh para nabi, dan mendengar suara-suara dari mereka, dan mengambil faedah-faedah dari mereka. Kemudian kondisi mereka (yaitu orang-orang sufi) pun semakin meningkat dari melihat bentuk menjadi tingkatan derajat-derajat yagn sulit untuk diucapkan”
Dan masih banyak perkataan para ulama yang mengingatkan akan bahayanya kerancuan-kerancuan pemikiran Al-Gozzaali, diantaranya At-Turtusi, Al-Maaziri, dan Al-Qodhi ‘Iyaadh.
Maka saya jadi bertanya tentang kitab Ihyaa Uluum Ad-Diin, apakah kita mengikuti pendapat Ustadz Abu Salafy yang majhuul untuk menjadikan kitab tersebut sebagai sumber aqidah?, ataukah kita mengikuti perkataan Ibnu Jauzi??
Adapun perkataan Ibnul Jauzi maka sesungguhnya Ibnul Jauzi dalam masalah tauhid Al-Asmaa was sifaat mengalami kegoncangan, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rojab Al-Hanbali. Beliau berkata :
“Dan diantara sebab kritkan orang-orang terhadap Ibnul Jauzi –yang ini merupakan sebab marahnya sekelompok syaikh-syaikh dari para sahabat kami (yaitu syaikh-syaikh dari madzhab hanbali-pent) dan para imam mereka dari Al-Maqoodisah dan Al-’Altsiyyiin mereka marah terhadap condongnya Ibnul Jauzi terhadap takwiil pada beberapa perkatan Ibnul Jauzi, dan keras pengingkaran mereka terhadap beliau tentang takwil beliau.
Meskipun Ibnul Jauzi punya wawasan luas tentang hadits-hadits dan atsar-atsar yang berkaitan dengan pembahasan ini hanya saja beliau tidak mahir dalam menghilangkan dan menjelaskan rusaknya syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para ahli kalam (filsafat). Beliau mengagungi Abul Wafaa’ Ibnu ‘Aqiil… dan Ibnu ‘Aqiil mahir dalam ilmu kalam akan tetapi tidak memiliki ilmu yang sempurna tentang hadits-hadits dan atsar-atsar. Oleh karenanya perkataan Ibnu ‘Aqiil dalam pembahasan ini mudhthorib (goncang) dan pendapat-pendapatnya beragam (tidak satu pendapat-pent), dan Abul Faroj (ibnul Jauzi) juga mengikuti Ibnu ‘Aqiil dalam keragaman tersebut.” (Adz-Dzail ‘alaa Tobaqootil Hanaabilah, cetakan Daarul Ma’rifah, hal 3/414 atau cetakan Al-’Ubaikaan, tahqiq Abdurrahman Al-’Utsaimiin 2/487)
Para pembaca yang budiman, Ibnu Rojab Al-Hanbali telah menjelaskan bahwasanya aqidah Ibnul Jauzi dalam masalah tauhid Al-Asmaa’ was Sifaat tidaklah stabil, bahkan bergoncang. Dan Ibnul Jauzi –yang bermadzhab Hanbali- telah diingkari dengan keras oleh para ulama madzhab Hanbali yang lain. Sebab ketidakstabilan tersebut karena Ibnul Jauzi banyak mengikuti pendapat Ibnu ‘Aqiil yang tenggelam dalam ilmu kalam (filsafat).
Jawab : sangat disayangkan Ustadz Firanda tidak menyertakan perkataan Ibnu Rojab Al-hanbali seperti yang dinukil oleh Al-Imam At-taqi al-Hashni yang sezaman dengannya dalam kitab Daf`u Syabah man Syabbah wa tamarrad halaman 123 yang mengatakan : Adalah Syeikh Zainuddin Ibn Rojab Al-hanbali yang meyakini Kafirnya Ibnu Taimiyah dan beliau mempunyai tulisan sebagai bantahan Untuk Ibnu Taimiyah , dan beliau (Ibn Rojab) berkata dengan suara yang paling lantang dalam majlis-majlis (Ilmu-pent ) As-subki mempunyai Udzur untuk mengkafirkan Ibnu Taimiyah , lihatlah dan resapi pernyataan Ibnu rojab untuk Ibnu Taimiyah Imam Ustadz Firanda dan All Wahhabi.
Adapun pernyataan Ibnu Rojab yang dibawakan Ustadz firanda adalah pernyataan sebelum Ibnu Rojab Tobat dari Aqidah tasybih dan Tajsim, adapun setelah Taubat dari Aqidah Ibnu Taimiyah itulah perkataannya sebagaimana saya nukil diatas.
Ustadz Firanda berkata :
Ibnul Jauzi dalam kitabnya Talbiis Ibliis mendukung madzhab At-Tafwiidh, sedangkan dalam kitabnya Majaalis Ibni Jauzi fi al-mutasyaabih minal Aayaat Al-Qur’aaniyah menetapkan sifat-sifat khobariyah, dan pada kitabnya Daf’ Syubah At-Tasybiih mendukung madzhab At-Takwiil (lihat penjelasan lebih lebar dalam risalah ‘ilmiyyah (thesis) yang berjudul “Ibnul Jauzi baina At-Takwiil wa At-Tafwiidh” yang ditulis oleh Ahmad ‘Athiyah Az-Zahrooni. Dan bisa didownload di
http://www.4shared.com/file/246344257/16845e7/_____-__.html
Jawab : Tafwidh dan Takwil adalah manhaj atau metodologi yang digunakan ulama Ahlu Sunnah (Asy`ariyah) dalam memahami ayat mutasyabihat , jadi tidak aneh jika Ibnu Jauzi menggunakan dua metodologi itu , dan sama sekali tidak menunjukkan kegoncangan Aqidah Imam ibnu Jauzi , karena dua manhaj itulah yang digunakan Ahlu Sunnah ( Asy`ariyah), yang aneh justru Ustadz Firanda dan kelompoknya yang menolak Tafwidh juga Takwil , disamping juga menunjukkan kegoncangan Aqidah Ustadz Firanda sampai-sampai terjebak dalam Filsafat ” arah yang tidak ber-wujud.”
Ustadz Firanda berkata :
Adapun perkataan Ibnu Jauzy rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh Abu salafy yaitu :
وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه ، لان الدخول والخروج من لوزام المتحيزات.
“Demikian juga harus dikatakan bahwa Dia tidak berada di dalam alam dan tidak pula di luarnya. Sebab masuk dan keluar adalah konsekuensi yang mesti dialami benda berbentuk
Maka saya katakan :
Pertama : Abu Salafy kurang tepat tatkala menerjemahkan “Al-Mutahayyizaat” dengan benda berbentuk. Yang lebih tepat adalah jika diterjemahkan dengan “perkara-perkara yang bertempat”.
Jawab : ustadz firanda bisa meng-koreksi penterjemahan namun sayang tetap saja salah dalam memahaminya , tidak tahukah Ustadz Firanda jika “perkara-perkara yang bertempat”. Niscaya perkara-perkara itu berbentuk…..? Allah maha Suci dan Maha Tinggi dari sifat-sifat ber-tempat dan berbentuk ,
sebagaimana tergambar dalam Aqidah Bathil Ustadz Firanda.
Ustadz Firanda berkata :
Kedua : Kalau kita benar-benar merenungkan perkataan Ibnul Jauzy ini maka sesungguhnya perkataan ini bertentangan dengan penjelasan Imam Ahmad sebagaimana telah lalu tatkala Imam Ahmad berkata :”Jika engkau ingin tahu bahwasanya Jahmiy adalah seorang pendusta tatkala menyangka bahwsanya Allah di semua tempat bukan pada satu tempat tertentu, maka katakanlah : Bukankah Allah dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?. Maka ia akan menjawab : Iya. Katakan lagi kepadanya, “Tatkala Allah menciptakan sesuatu apakah Allah menciptakan sesuatu tersebut dalam dzat Allah ataukah di luar dzat Allah?”. Maka jawabannya hanya ada tiga kemungkinan, dia pasti memilih salah satu dari tiga kemungkinan tersebut.
Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakan sesuatu tersebut di dalam dzat Allah maka ia telah kafir tatkala ia menyangka bahwasanya jin dan para syaitan berada di dzat Allah.
Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakannya di luar dzat Allah kemudian Allah masuk ke dalam ciptaannya maka ini juga merupakan kekufuran tatkala ia menyangka bahwasanya Allah masuk di setiap tempat dan wc dan setiap kotoran yang buruk.
Jika ia mengatakan bahwasanya Allah menciptakan mereka di luar Dzat-Nya kemudian tidak masuk dalam mereka maka ia (si jahmiy) telah meninggalkan seluruh aqidahnya dan ini adalah perkataan Ahlus Sunnah” (Ar-Rod ‘alaa Al-Jahmiyyah wa az-Zanaadiqoh hal 155-156)
Jelas di sini perkataan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Allah di luar ‘alam, tidak bersatu dengan makhluknya. Hal ini jelas bertentangan dengan peraktaan Ibnu Jauzi yang berafiliasi kepada madzhabnya Imam Ahmad bin Hanbal.
jawab : 1. aqidah Jahmiyah mengatakan : Allah berada pada semua tempat dengan Dzatnya ” Aqidah Mu`tazilah mengatakan Allah berada pada semua tempat dengan Ilmunya ” sementara Aqidah Ahlu Sunnah ( Asy`ariyah ) mengatakan : Allah ada tanpa tempat dan tanpa Arah ” sementara Aqidah sekte Karomiyah mengatakan : Allah berada pada Arah atas , Aqidah sekte Karomiyah ini percis sama dengan Aqidah Ustadz Firanda cs.
2.sekali lagi kita katakan : katakanlah kita terima jika kitab Ar-rodd ala Jahmiyah adalah kitab Asli karya Imam Ahmad Ibnu Hanbal , tetap saja pemahaman : Baa-inun min Kholqih ” bukanlah berarti ” terpisah dari makhluknya ” , bukan pula berarti bahwa Allah diluar Alam sebagaimana salah difahami oleh Ustadz firanda , makna yang benar dari kata Baaa-inun adalah sebagaimana diterangkan Oleh al-Hafidz Al-Baihaqi dalam al-asma wa as-sifat halaman 382 bab hal-hal yang datang dalam Firman Allah :” Ar-rohman ala Arsy Istawa ” beliau berkata : ” diatas sesuatu berbeda darinya dengan makna sesuatu itu tidak menempatinya , tidak pula tempat itu menempatinya , tidak menyentuhnya tidak pula menyerupainya , dan Bainunah (baaa-inun) bukanlah terpisah , maha suci Allah Robb (tuhan-pen) Kami dari Hulul (menempati dan menempel , begitu juga Bainunah bukan berarti terpisah dan menjauh karena hal itu Mustahiil bagi Allah. (Alasma wa as-sifat hal 217). penjelasaqn ini senada dengan penjelasan Imam Al- Khuthobi dalam kitab A`lamul Hadist halaman 187. pertanyaannya apakah Ustadz Firanda lebih Faham dari Al-Imam Al-Hafidz Al-Baihaqi……? Sehingga mengartikan lafadz ” Baa-inun ” dengan terpisah bahkan jauh diluar alam sana …..? adakah Ulama Ahlu Sunnah yang memahami kata Baa-inun ” seperti yang difahami Ustadz Firanda…..?
3. saya minta kepada Ustadz Firanda untuk menunjukkan dimanakah letak kata-kata Imam Ahmad yang mengatakan : ” bahwa Allah di luar ‘alam ” di alinea ke berapa atau di baris ke berapa……? Perkataan Imam Ahmad yang ustadz Firanda Nukil dari kitab AR-Rodd alal Jahmiyah sama sekali tidak ada yang menunjukkan jika Imam Ahmad mengatakan ” bahwa Allah di luar ‘alam ” pernyataan ini murni dari Ustadz Firanda yang salah dalam memahami perkataan Imam Ahmad ” Baaa-inun min Kholqihi ” yang sekaligus menunjukkan Tadlis dan plintiran perkataan Imam Ahmad oleh Ustadz Firanda. ( kalau bahasa ustadz Firanda ” ber Dusta atas nama Imam Ahmad ” )
4. berkata Al-Imam Al-Hafidz An-nawawi dalam kitabnya Roudhotu Tholibin 10/ 64 : sesungguhnya sebagian dari perkara-perkara yang menyebabkan kemurtadan dari Agama Islam dan menjadikannya kafir dalam I`tiqod adalah ” menetapkan bagi Allah sifat ” Bersatu ” maupun ” terpisah ” dengan Makhluknya. Penjelasan ini senada dengan penjelasan Imam Al-Baihaqi juga Imam Al- Khuthobi sehingga pernyataan Imam Ibn Jauzi senada dan selaras dengan para Imam Lainnya yang tidak mensifati terpisah maupun bersatu dengan Makhluknya.
5. pernyataan Imam Ahmad diatas yang dinukil Ustadz Firanda Justru bertentangan dengan Aqidah Ibnu Taimiyah (imamnya firanda cs) yang mengatakan : ” Bahwa Allah menciptakan Makhluknya dalam dirinya ” ( Mahallan lil Hawadist ) sementara Imam Ahmad mengatakan : ” Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakan sesuatu tersebut di dalam dzat Allah maka ia telah kafir tatkala ia menyangka bahwasanya jin dan para syaitan berada di dzat Allah ” , bahkan Ibnu Taimiyah lebih jauh mengatakan ” bahwa Allah mungkin saja bersentuhan dengan Syetan dan kenajisan ” (silahkan lihat bayan Talbisul Jahmiyah karya Ibn Taimiyah juz 2 hal. 555dan 556) inilah Bid`ah I`tiqod terburuk yang dimunculkan Ibnu Taimiyah maha guru sekaligus Imam Ustadz Firanda CS. Yang diambil dari sekte sesat Karomiyah mujassimah.
Ustadz Firanda berkata :
Ketiga : Peraktaan Ibnul Jauzy –rahimahullah- “bahwasanya Allah tidak di dalam ‘alam semesta dan juga tidak di luar alam” melazimkan bahwasanya Allah tidak ada di dalam kenyataan, akan tetapi Allah hanya berada dalam khayalan. Karena ruang lingkup wujud hanya mencakup dua bentuk wujud, yaitu Allah dan ‘alam semesta, jika Allah tidak di dalam ‘alam dan juga tidak di luar ‘alam berarti Allah keluar dari ruang lingkup wujud, maka jadilah Allah itu pada hakekatnya tidak ada.
Jawab : perkataan ustadz Firanda diatas (point ketiga) menunjukkan jika dalam benak Ustadz Firanda ” Allah adalah benda ” perhatikan ucapan ustadz Firanda : “, jika Allah tidak di dalam ‘alam dan juga tidak di luar ‘alam berarti Allah keluar dari ruang lingkup wujud, maka jadilah Allah itu pada hakekatnya tidak ada.” Kesimpulan prematur ini diKarenakan dalam benaknya ustadz Firanda ” Allah itu benda ” akhirnya Ustadz Firanda tidak dapat menerima perkataan Ibnu Jauzi bahwa Allah tidak diluar tidak juga didalam alam ” ustadz Firanda tidak sadar jika Allah itu bukan benda yang bisa disifati : berada diluar alam , atau disifati berada dalam Alam. Allah adalah Kholiqu kulli sya`I pencipta segala sesuatu yang tidak boleh disifati dengan sifat-sifat yang melekat pada benda (Makhluknya ), karena Allah Laista kamistlihi sya`I , tidak ada yang menyerupainya sementara sifat diluar atau didalam adalah Sifat Makhluk.
Keismpulan Ustadz Firanda :
Kesimpulan :
Demikianlah para pembaca yang budiman penjelasan tentang hakikat dari artikel yang ditulis oleh Abu Salafy.
Kesimpulan yang bisa di ambil tentang abu salafy adalah sebagai berikut :
Pertama : Ana masih bingung apakah Ustadz Abu Salafy adalah seseorang yang berpemahaman Asyaa’iroh murni ataukah lebih parah daripada itu, yaitu ada kemungkinan ia berpemahaman jahmiyah atau mu’tazilah. Karena ketiga firqoh ini sepakat bahwasanya Allah tidak di atas langit.
Jawab : ustadz firanda bingung karena dalam benaknya telah mengakar sifat-sifat makhluk , sehingga ketika Tuhan (Allah) tidak disifati oleh sifat-sifat makhluk Ustadz Firanda Bingung. Ditambah dengan minimnya pemahaman atas perbedaan antar kelompok Ahlu Sunnah (Asy`ariyah) dengan kelompok Bid`ah seperti Jahmiyah dan Mu`taziilah, membuat ustadz Firanda semakin bingung.
kesimpulan firanda Kedua : Atau bahkan ada kemungkinan Al-Ustadz berpemahaman Syi’ah Rofidhoh yang juga berpemahaman bahwasanya Allah tidak di atas langit. Semakin memperkuat dugaan ini ternyata Al-Ustadz Abu Salafy banyak menukil dari buku-buku Rafidhoh. Selain itu Al-Ustadz Abu Salafy juga dengan tegas dan jelas mengutuk Mu’awiyyah radhiallahu ‘anhu. Oleh karenanya ana sangat berharap Al-Ustadz Abu Salafy bisa menjelaskan siapa dirinya sehingga tidak lagi majhuul. Dan bahkan ana sangat bisa berharap bisa berdialog secara langsung dengan Al-Ustadz.
Jawab : selain sekte Mujassimah Karomiyah wahabiyah dan yang sejenisnya (taimiyah) , berkeyakinan jika Allah maha tinggi diatas segalanya bukan secara Fisik tetapi maha Tinggi diatas segalanya secara Hakiki dan Mutlak tanpa Arah , adapun kutukan terhadap Mu`awiyah Rodhiallahu anhu , tidak serta merta bisa ” menodai ” kebenaran yang dibawa Abu Salafy bahwa Allah tidak berada dilangit , ana juga berharap agar Ustadz Firanda jangan hanya koar-koar didunia maya , jangan hanya menyebarkan faham-faham menyimpangnya didunia Internet , dan ana sangat berharap agar Ustadz Firanda berdialog secara Langsung dengan Ustadz-ustadz Ahlu Sunnah wal-jama`ah ( Asy`ariyah).
kesimpulan firanda Ketiga : Dari penjelasan di atas ternyata Al-Ustadz Abu Salafy nekat mengambil riwayat dari buku yang telah difonis oleh Al-Ustadz sendiri bahwa buku tersebut adalah kedusataan demi untuk mendukung aqidah Abu Salafy. Maksud ana di sini adalah buku Al-Fiqhu Al-Akbar karya Abu Hanifah dari riwayat Abu Muthii’ Al-Balkhi.
Jawab :dari penjelasan diatas tidak ada kata-kata Ustadz Abu Salafy yang memvonis Dusta terhadap buku Al-Fiqhu Al-Akbar karya Abu Hanifah dari riwayat Abu Muthii’ Al-Balkhi. Yang ada adalah Vonis Dusta terhadap ” Riwayat salah satu Ucapan Imam Abu Hanifah ” yang terdapat dalam buku riwayat Abu Mu`thi Al-balkhi, mohon dengan Hormat ustad Firanda tunjukkan jika yang divonis Abu Salafy adalah BUKUnya bukan hanya salah satu riwayat dalam buku itu……..? tolong jangan main Plintir pernyataan teman diskusi.
kesimpulan firanda Keempat : Abu Salafy juga ternyata melakukan tadlis (muslihat) dengan memberi sub judul “Penegasan Imam Ahmad”, namun yang dinukil oleh Al-Ustadz adalah perkataan Ibnu Hajr Al-Haitsami.
Jawab : jika kita hitung Tadlis (muslihat) Ustadz Firanda ternyata jauh lebih banyak ketimbang yang dilakukan Ustadz Abu Salafy, sebagaimana telah kita tunjukkan diatas.
kesimpulan firanda Kelima : Aqidah yang dipilih oleh Abu Salafy adalah sebagaimana yang dinukil oleh Abu Salafy dari Ibnul Jauzi
وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه
“Hendaknya dikatakan bahwasanya Allah tidak di dalam alam dan juga tidak diluar alam”
Inilah aqidah yang senantiasa dipropagandakan oleh Asyaa’iroh Mutaakhirin seperti Fakhrurroozi dalam kitabnya Asaas At-Taqdiis.
Dan aqidah seperti ini melazimkan banyak kebatilan, diantaranya :
- Sesungguhnya sesuatu yang disifati dengan sifat seperti ini (yaitu tidak di dalam alam dan juga tidak di luar alam, dan tidak mungkin diberi isyarat kepadanya) merupakan sesuatu yang mustahil. Dan sesuatu yang mustahil menafikan sifat wujud. Oleh karenanya kelaziman dari aqidah seperti ini adalah Allah itu tidak ada
- Perkataan mereka “Allah tidak di dalam alam dan juga tidak di luar alam” pada hakekatnya merupakan penggabungan antara naqiidhoin (penggabungan antara dua hal yang saling bertentangan). Hal ini sama saja dengan perkataan “Dia tidak di atas dan juga tidak di bawah” atau “Dia tidak ada dan juga tidak tidak ada”. Dan penggabungan antara dua hal yang saling kontradiksi (bertentangan) sama halnya dengan meniadakan dua hal yang saling bertentangan. Maka perkataan “Allah tidak di alam dan juga tidak diluar alam” sama dengan perkataan “Allah tidak tidak di alam dan juga tidak tidak di luar alam”. Dan telah jelas bahwasanya menggabungkan antara dua hal yang saling bertentangan atau menafikan keduanya merupakan hal yang tidak masuk akal, alias mustahil
- Pensifatan seperti ini (yaitu : tidak di dalam alam dan tidak di luar alam, tidak di atas dan tidak di bawah) merupakan sifat-sifat sesuatu yang tidak ada. Jika perkaranya demikian maka sesungguhnya orang yang beraqidah terhadap Allah seperti ini telah jatuh dalam tasybiih. Yaitu mentasybiih (menyerupakan) Allah dengan sesuatu yang tidak ada atau mentasybiih Allah dengan sesuatu yang mustahil.
- Pensifatan Allah dengan sifat-sifat seperti ini masih lebih tidak masuk akal dibandingkan aqidah orang-orang hululiah (seperti Ibnu Arobi yang meyakini bahwa Allah bersatu atau menempati makhluknya). Meskipun aqidah hulul juga tidak masuk akal akan tetapi masih lebih masuk akal (masih lebih bisa direnungkan oleh akal) dibandingkan dengan aqidah Allah tidak di atas dan tidak di bawah, tidak di alam dan juga tidak di luar alam, tidak bersatu dengan alam dan tidak juga terpisah dari alam.
Jawab : kesimpulan prematur ke 5 dari Ustadz Firanda menunjukkan dengan jelas Jika ustad Firanda tidak bisa memahami keberadaan Tuhan ” Allah ” jika tidak disifati dengan sifat-sifat Makhluk , oleh karena itu beliau katakan : ” Pensifatan seperti ini (yaitu : tidak di dalam alam dan tidak di luar alam, tidak di atas dan tidak di bawah) merupakan sifat-sifat sesuatu yang tidak ada ” , hal ini terjadi karena Ustadz Firanda menggunakan ukuran-ukuran dan sifat-sifat Makhluk untuk menunjukkan keberadaan Tuhan (Allah), dia (ustadz Firanda ) lupa jika Allah bukanlah Makhluk yang bisa disifati dengan sifat-sifat Makhluk , ustadz firanda juga lupa jika Allah mengatakan ” Tidak ada sesuatupun yang menyerupainya. Fahamkah Ustadz Firanda dengan : ” TIDAK ADA YANG MENYERUPAINYA……..? ”
2. bagi Ustad firanda Aqidah Ahli Bid`ah lebih Masuk akal ketimbang Aqidah Ahlu Sunnah (Asy`ariyah) , sehingga Ustadz Firanda lebih memilih Aqidah Ahlu Bid`ah ” Karomiyah ” ketimbang Aqidah Ahlu Sunnah (Asy`ariyah) , sehingga tidak aneh jika ustadz Firanda pun akhirnya bersepakat dengan sekte orang-orang hululiah (seperti Ibnu Arobi yang meyakini bahwa Allah bersatu atau menempati makhluknya “-Ibnu Arobi terlepas dari aqidah hulul- ahmad syahid). Karena Ustadz Firanda mengatakan : ” bahwa Allah berada pada Arah Yang tidak berwujud ” yang artinya Allah Hulul atau menempati Makhluknya yang bernama Arah yang tidak ber-wujud , lupakah ustadz firanda jika ” apapun namanya Selain Allah adalah Makhluknya…….?
kesimpulan firanda Keenam : Abu Salafy menolak keberadaan Allah di atas karena meyakini hal ini melazimkan Allah akan diliputi oleh tempat yang merupakan makhluk. Maka kita katakana, aqidahnya ini menunjukan bahwasanya Abu Salafylah yang terjerumus dalam tasybiih, dan dialah yang musyabbih. Kenapa…??. Karena Abu Salafy sebelum menolak sifat Allah di atas langit ia mentasybiih dahulu Allah dengan makhluk. Oleh karenanya kalau makhluk yang berada di atas sesuatu pasti diliputi oleh tempat. Karenanya Abu Salafy mentasybiih dahulu baru kemudian menolak sifat tingginya Allah.
Ternyata hasil aqidah yang diperoleh Abu Salafy juga merupakan bentuk tasybiih. Karena aqidah Abu Salafy bahwasanya Allah tidak di dalam ‘alam dan juga tidak di luar alam merupakan bentuk mentasybiih Allah dengan sesuatu yang tidak ada atau sesuatu yang mustahil (sebagaimana telah dijelaskan dalam point kelima di atas). Jadilah Abu Salafy musyabbih sebelum menolak sifat dan musyabbih juga setelah menolak sifat Allah.
jawab : 1. Aqidah Ahlu Sunnah Wal-jama`ah ( Asy`ariyah) meyakini jika Allah diatas seluruh makhluknya dan Allah Istawa diatas Arsynya , hanya saja , atas , Istawa juga ketinggian tidak difahami secara fisikly / dzat , sebagaimana yang difahami Ustadz Firanda cs , sehingga menetapkan Arah dan tempat yang bernama Arah yang tidak ber-wujud , begitu juga Aqidah Abu salafy berlandaskan kepada Hadist Shahih ” kaana Allah walam yakun Syai`un Ghoiruh ” Allah telah ada sebelum selainnya ada ” ditegaskan oleh Hadist : ” Allahumma anta dhair fa laista fawqoka Sya`I wa anta Bathin falaista duunaka Sya`iy , ” ya Allah engkaulah Adz-dzhahir yang tidak ada sesuatu diatasmu dan engkaulah al-bathin yang tidak ada sesuatu dibawahmu. Dua hadist ini bertentangan dengan Aqidah ustadz firanda cs.
2. jika dalam membayangkan adanya Arah dan tempat (untuk menetapkan hukum) saja sudah disebut dihukumi dan di cap sebagai Musyabih , lantas bagaimana dengan Ustadz Firanda cs, yang menetapkan Arah dan Tempat Bagi Allah….…..? inilah perkeliruan Ustadz Firanda untuk mendukung Aqidahnya yang Fasid.
3. dari jawaban point satu jelaslah jika Abu Salafy bukanlah Musyabbih seperti yang dituduhkan Ustadz Firanda , dan jelas jika Abu Salafy adalah Muttabi` , pengikut Aqidah Rosulallah SAW , Justru Ustadz Firandalah yang Musyabih karena menetapkan Arah dan tempat bagi Allah , layaknya Makhluk yang tidak bisa lepas dari Arah dan tempat , bahkan ustadz firanda pun ber Aqidah Hulul karena bagi ustadz Firanda , Allah berada (bertempat) di Arah yang tidak ber-wujud -, yang berarti Allah menempati makhlunya yang bernama ” Arah yang tidak ber-wujud”. Dan jelaslah jika Ustadz firanda adalah seorang Mubtadi` (Ahlul Bid`ah ) sebab dalam Alqur`an maupun Hadist tidak pernah disebut adanya ” Arah yang tidak ber-wujud ” .
kesimpulan firanda Ketujuh : Abu Salafy tidak menemukan satu perkataan salaf (dari generasi sahabat hingga abad ke tiga) yang mendukung aqidahya, oleh karenanya Abu Salafypun nekat untuk berdusta atau mengambil dari riwayat-riwayat yang tidak jelas dan tanpa sanad, atau dia berusaha mengambil perkataan-perkataan para ulama mutaakhiriin.
Jawab : 1. sangat banyak perkataan Salaf As-shalihin yang mendukung Aqidah ” Allah ada tanpa tempat dan tanpa Arah ” , (jika ingin disebutkan satu-persatu tentu bisa jadi satu buku Full karena jumlahnya ratusan ) , satu contoh yang tidak bisa dipungkiri (meskipun Bin Baz dan pembesar wahabi lainnya memungkiri) adalah ” kitab Aqidah At-thohawiyah yang menyebutkan : ” jika Allah maha suci dari batasan-batasan (huduud) dan ujung sesuatu / akhir sesuatu (ghoyaat). , ( batasan hanya melekat pada sifat-sifat makhluk begitu juga akhir sesuatu atau ujung sesuatu hanya melekat pada makhluk.-pent)
2. semua riwayat yang dibawakan ustadz Firanda untuk mendukung aqidah fasidnya , hanya berdasarkan kepada Riwayat – riwayat yang tidak sah , Mungkar bahkan Palsu (maudhu`) sebagaimana telah kita Ungkap satu-persatu dalam ” Klaim Ijmak ” yang di da`wakan oleh ustadz Firanda , dan ternyata Salaf bagi Ustadz Firanda tidak sama dengan salaf versi Ahlu Sunnah ( Asy`ariyah) , salaf versi ustadz Firanda adalah para Pembohong dan pemalsu Hadist seperti Ibnu Bathoh al-`ukbary , al-hakari dan yang sejenisnya. ( entah ditaro dimana jargon ” hanya mengunakan hadist2 Shahihnya ” atau itu hanya sekedar jargon untuk mengelabui orang awam…..?
3. riwayat – riwayat tidak sah , Mungkar dan Maudhu` yang dibawakan Ustadz firanda ternyata hanya dijadikan bumpher dan batu loncatan untuk menyemir Aqidah (falsafat) Asli sang ustadz yaitu Allah berada Pada ” Arah yang tidak ber-wujud ” , hal ini dia lakukan untuk menghindar dari Hukuman Ulama yang meng-Kafirkan Aqidah Hulul , namun sayang usahanya ini gagal total dan hanya menyebabkan kekufuran diatas kekufuran. Sebagaiman telah dijelaskan diatas , dimana falsafat ustadz firanda ini hanya berbuah pada dua kemungkinan yang kedua-duanya adalah kekufuran.
4. setelah semua Tipu Muslihat Ustadz Firanda terbongkar , dimana seluruh riwayat yang dibawakannya ” Jatuh ” dimata Ulama Ahlu Sunnah ( Asy`ariyah ) dan ” Jatuh ” dimata Ulama Jarh wa at-ta`dil , apakah sikap selanjutnya yang akan diambil oleh Ustadz firanda………..?
Ala kulli Haal , sesungguhnya semua Bani Adam adalah pembuat kesalahan , dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang mau ber-Taubat .
Demikian semoga bermanfa`at .

Firanda vs Abu Salafy mengenai Tasybiih 2


Ustadz Firanda mengatakan :
Oleh karenanya ana meminta Abu Abu Salafy Al-Majhuul dan pemilik bloig salafytobat untuk mendatangkan satu riwayat saja dari para sahabat atau para salaf dengan sanad yang shohih bahwasanya mereka mengingkari Allah berada di atas langit. Kalau mereka berdua tidak mampu mendatangkan satu riwayatpun maka ketahuilah bahwasanya aqidah yang mereka bawa hanyalah aqidah karangan mereka berdua sendiri dan merupakan wahyu dari syaitan.
Jawaban : justru saya meminta kepada yang terhormat Ustradz Firanda untuk mendatangkan satu Riwayat saja yang Shahih dari para Sahabat atau para Salaf As-shalihin bahwasannya mereka memahami dan mengartikan ” Istawa ” dengan ” Istiqror ” : ” Allah berdiam / berada di atas langit ” dan tolong jangan lagi membawakan Riwayat-riwayat yang tidak Sah , Mungkar bahkan Maudhu` karena semuanya akan terbongkar sebagaimana riwayat-riwayat diatas tadi . Kalau Ustadz Firanda dan All salafiyyin Wahabiyyin tidak mampu mendatangkan satu riwayatpun maka ketahuilah bahwasanya aqidah yang mereka bawa hanyalah aqidah karangan mereka sendiri dan merupakan wahyu dari syaitan.
Ustadz Firanda mengatakan :
Tipu muslihat Abu Salafy
Dari sini kita akan membongkar kedustaan Abu salafy yang berusaha menggambarkan kepada masa bahwasanya aqidah batilnya tersebut juga diyakini oleh para sahabat.
Jawab : pembaca yang Budiman mari kita ikuti pembongkaran Tipu Muslihat Abu Salafy yang dilakukan Ustadz Firanda apakah benar-benar terbongkar atau malah Justru tipu Muslihat sang Ustadz yang akan terkuak , mari kita ikuti bagaimana Lihainya sang ustadz dalam BERKELIT ketika dicengkram kuat Oleh Hujjah Abu Salafy , ketika sang Ustadz berkelit dari Hujjah yang tidak mampu untuk dijawabnya.
Abu Salafi berkata :
(http://abusalafy.wordpress.com/2010/04/11/ternyata-tuhan-itu-tidak-di-langit-8/) ”
Pegenasan Imam Ali as.
Tidak seorang pun meragukan kedalaman dan kelurusan akidah dan pemahaman Imam Ali ibn Abi Thalib (karramalahu wajhahu/semoga Alllah senantiasa memuliakan wajag beliau), sehingga beliau digelari Nabi sebagai pintu kota ilmu kebanian dan kerasulan, dan kerenanya para sahabat mempercayakannya untuk menjelaskan berbagai masalah rumit tentang akidah ketuhanan. Imam Ali ra. berkata:
كان ولا مكان، وهو الان على كان.
”Adalah Allah, tiada tempat bagi-Nya, dan Dia sekarang tetap seperti semula.”
Beliau ra. juga berkata:
إن الله تعالى خلق العرش إظهارًا لقدرته لا مكانا لذاته.
”Sesungguhnya Allah – Maha Tinggi- menciptakan Arsy untuk emnampakkan kekuasaan-Nya bukan sebagai tempat untuk Dzat-Nya.”[ Al Farqu baina al Firaq:333]
Beliau juga berkata:
من زعم أن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود.
”Barang siapaa menganggap bahwa Tuhan kita terbatas/mahdûd[2] maka ia telah jahil/tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.”[ Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73, ketika menyebut sejarah Ali ibn Abi Thalib ra.] )) -demikian perkataan Abu Salafy-.
Ustadz Firanda berkata :
Ini merupakan kedustaan Abu Salafy terhadap Ali Bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu. Hal ini akan jelas dari beberapa sisi:
Pertama : Sesungguhnya atsar ini dibawakan oleh orang-orang Syi’ah Rofidoh dalam buku-buku mereka tanpa ada sanad sama sekali. Diantaranya dalam kitab mereka Al-Kaafi (karya Al-Kulaini). Al-Kulaini berkata:
وَ رُوِيَ أَنَّهُ سُئِلَ ( عليه السلام ) أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ سَمَاءً وَ أَرْضاً فَقَالَ ( عليه السلام ) أَيْنَ سُؤَالٌ عَنْ مَكَانٍ وَ كَانَ اللَّهُ وَ لَا مَكَانَ
Dan diriwayatkan bahwasanya Ali bin Abi Tholib ‘alaihis salam ditanya : Dimanakah Robb kami sebelum menciptakan langit dan bumi?, maka Ali bin Abi Tholib ‘alaihis salaam berkata, “Mana pertanyaan tentang tempat?! padahal Allah dahulu tanpa ada tempat (Al-Kaafi 1/90 dalam بَابُ الْكَوْنِ وَ الْمَكَانِ)
Ternyata memang aqidah orang-orang Asyaa’iroh semisal Abu salafy dan pemilik blog salafytobat cocok dengan aqidah orang-orang Syi’ah Rofidhoh dalam masalah dimana Allah. Karena memang orang-orang Rofidhoh beraqidah mu’tazilah, dan Asya’iroh dalam masalah dimana Allah sepakat dengan Mu’tazilah (padahal Mu’tazilah adalah musuh bebuyutan Asya’iroh, sebagaimana nanti akan datang penjelasannya).
Atsar ini dibawakan oleh Al-Kulaini dengan tanpa sanad, bahkan dengan sighoh “Diriwayatkan” yang menunjukan lemahnya riwayat ini.
Jawab :
1. Ustadz Abu Salafy mungkin masih lebih baik Dari Ustadz Firanda yang membawakan Riwayat dengan Sanad yang tidak sah , Mungkar bahkan Maudhu` berapa banyak orang yang akan terbawa oleh tipuan sanad yang tidak sah Mungkar bahkan Palsu yang dibawakan oleh ustadz firanda diatas …..? sementara riwayat tanpa sanad yang dibawakan Ustadz Abu Salafy tidak akan berpengaruh sehebat pengaruh Riwayat yang ber sanad .
2. menyamakan Aqidah Syi`ah Rofidhoh , Mu`tazilah dangan Asy`ariyah adalah menunjukkan jika Ustadz Firanda tidak memahami perbedaan antar Firqoh dalam islam , atau Ustadz Firanda ingin menumbuhkan kebencian terhadap Ahlu Sunnah ( Asy`ariyah) kepada orang awam. Dan menjauhkan orang awam dari Faham Ahlu Sunnah wal-jama`ah.
ustad firanda mengatakan :
Kedua : Demikian juga yang dinukil oleh Abu Salafy dari kitab Al-Farqu bainal Firoq karya Abdul Qohir Al-Baghdadi adalah riwayat tanpa sanad sama sekali.
Abdul Qohir Al-Baghdadi berkata :
“Mereka telah bersepakat bahwasanya Allah tidak diliputi tempat dan tidak berlaku waktu baginya, berbeda dengan perkataan orang-orang yang menyangka bahwasanya Allah menyetuh ‘Arsy-Nya dari kalangan Hasyimiyyah dan Karroomiyyah. Amiirul Mukminin Ali –radhiollahu ‘anhu- berkata : Sesungguhnya Allah telah menciptakan Al-’Arsy untuk menunjukan kekuasaanNya dan bukan untuk sebagai tempat yang meliputi dzatNya. Beliau berkata juga : Allah dahulu (sendirian) tanpa ada tempat, dan Allah sekarang sebagaimana Dia dulu” (Al-Farqu baynal Firoq hal 33)
Ustadz Firanda berkata :
Para pembaca yang budiman, ternyata riwayat-riwayat dari Ali bin Abi Tholib yang dibawakan oleh Abdul Qohir Al-baghdadi tanpa ada sanad sama sekali. Dan hal ini tentunya diketahui oleh Abu Salafy cs, akan tetapi mereka tetap saja menampilkan riwayat-riwayat dusta dan tanpa sanad ini demi untuk mendukung aqidah mereka yang bathil.
Jawab : 1. pembaca yang budiman ternyata Riwayat-riwayat yang dibawakan Ustadz Firanda meskipun sebagiannya bersanad ternyata sanadnya tidak ada yang sah , mungkar bahkan Maudhu` , Dan hal ini tentunya diketahui oleh Ustadz Firanda cs, akan tetapi mereka tetap saja menampilkan riwayat-riwayat dusta dengan sanad yang tidak sah , Mungkar dan Palsu , demi untuk mendukung aqidah Ustadz Franda cs yang bathil.
2. menurut saya riwayat yang dibawakan Ustadz Abu Salafy yang tanpa sanad itu , masih lebih baik ketimbang riwayat yang bersanadkan Palsu , sebagaimana banyak dibawakan Ustadz Firanda dalam Klaim Ijmaknya , sebab meskipun Tanpa sanad Riwayat yang dibawakan Ustadz Abu salafy itu sesuai dan didukung oleh Hadist yang Shahih yang akan dibawakan nanti dibawah.
3. dan dengan tanpa sanad , orang akan mudah untuk menghindarinya , sementara Riwayat dengan sanad yang tidak sah tidak semua orang tahu hukum dari sanad itu , perlu ilmu yang cukup untuk mengetahui keabsahan sebuah sanad , diperlukan waktu yang tidak sebentar Untuk Mentakhrij sebuah atsar atau riwayat , kemungkinan orang terbawa dan tertipu lebih besar, terlebih ustadz Firanda dalam membawakan riwayat-riwayat tidak menyertakan Hukum dari status sanad itu , ustadz Firanda tidak menyebutkan atsar ini shahih kah , dhaif kah , tidak sah kah atau malah Mungkar dan maudhu`, disini ustadz Firanda telah Melakukan Tadlis pengkianatan atas amanah ilmiyah.
4. Aqidah Ahlu Sunnah ( Asy`ariyah) bahwa : ” Allah ada tanpa tempat ”
atau yang semakna dengan itu seperti yang dicontohkan dalam riwayat tanpa sanad Abu Salafy sebenarnya berlandaskan kepada Hadist Shahih : ” kaa na Allah walam yakun Syaiun Ghoiruhu ” Allah telah ada pada saat tidak ada selainnya ” (HR Bukhori ). Jadi meskipun riwayat yang dibawakan oleh Abu Salafy tanpa sanad , maka Makna dari riwayat itu senada dengan Hadist yang Shahih ini.
Ustadz firanda berkata :
Ketiga : Selain riwayat-riwayat tersebut tanpa sanad ternyata Abdul Qohir Al-Baghdadi sama sekali tidak dikenal sebagai seorang Muhaddits, namun demikianlah Abu Salafy cs tetap aja nekat mengambil riwayat dari orang yang tidak dikenal sebagai Muhaddits
Jawab : 1. entah kurang pengetahuan atau ada maksud lain ustadz Firanda menyatakan Jika Abdul Qohir al-Baghdadi sama sekali tidak dikenal sebagai Muhaddits , Tahukah Ustadz Firanda Jika Al-hafidz Ibnu Sholah menilai Khotib al-Baghdadi sebagai seorang Hafidz…….? Sebagaimana dijelaskan oleh Doktor ,Subhi as-shalih , begitu juga As-suyuthi dalam Tobaqotul Huffadz……? Silahkan lihat Ululumul Hadist wa Mushtolahuh ” hal. 172 karya DR. Subhi Shalih cet. Darul Ilm lil malayin. Ada maksud apa sang Ustadz men tadlis lagi….. apa karena beliau tahu jika Ijma` akan Allah ada tanpa tempat ” juga dinukil oleh Al-Imam Abdul Qohir al-Baghdadi…..? sehingga ketika Al-Imam Abdul Qohir Al-baghdadi sudah jatuh dimata kalangan awam maka mudah bagi Ustadz Firanda untuk menyebarkan Aqidah Bathilnya….? Wallahu a`lam bhishowab.
2. perkataan Ustadz Firanda : ” namun demikianlah Abu Salafy cs tetap aja nekat mengambil riwayat dari orang yang tidak dikenal sebagai Muhaddits ” , merupakan pembunuhan Karakter terhadap Imam Abdul Qohir Al-Baghdadi , dimana Imam Abdul Qohir Al-Baghdadi dipuji Oleh Amirul Muhadistin Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqolani sebagai Orang yang paling mengerti : ” perbedaan antar kelompok ” bandingkan dengan pengambilan Riwayat yang dilakukan Ustadz Firanda yang nekat mengambil riwayat dari para Pemalsu Hadist , seperti Ibn Bathoh Al-`Ukbari dan sejenisnya.
Ustadz Firanda berkata :
Keempat : Abdul Qohir Al-Baghadadi tentunya lebih rendah kedudukannya daripada kedudukan super gurunya yaitu Abul Hasan Al-’Asy’ari
Jawab : betul Al-Imam Abdul Qohir Al-baghdadi lebih rendah dari Al- Imam Abul Hasan Al-Asy`ari karena beliau adalah Muqollid terhadap Imam Al-Asy`ari , Namun demikian beliau Jauh lebih terhormat dan jauh lebih Mulia ketimbang para Pemalsu Hadist yang dijadikan sumber rujukan Oleh Ustadz Firanda.
Ustadz Firanda berkata :
Kelima : Kalau seandainya riwayat-riwayat di atas shahih maka tidak menunjukan bahwasanya Ali bin Abi Tholib mengingkari adanya Allah di atas langit. Paling banter dalam riwayat-riwayat di atas beliau –radhialllahu ‘anhu- hanyalah mengingkari bahwasanya Allah diliputi oleh tempat, dan pernyataan tersebut adalah pernyataan yang benar.
Ahlus sunnah tidak mengatakan bahwa Allah berada di suatu tempat yang meliputi Allah, akan tetapi mereka mengatakan bahwasanya Allah berada di atas, yaitu di arah atas.
Jangan disamakan antara tempat dan arah
Jawab : 1. Rupanya Ustadz Firanda Pura – pura Tidak tahu akan Landasan dari pernyataan Al-Imam Ali Karromallahu Wajhah, ( hadist yang tadi disebutkan “)
2. meskipun Ustadz firanda meragukan keshahihan atsar sayidina Ali krmh , namun karena dihati sang Ustadz mengetahui sandaran perkataan Imam Ali , akhirnya sang Ustadz mengatakan : ” Paling banter dalam riwayat-riwayat di atas beliau –radhialllahu ‘anhu- hanyalah mengingkari bahwasanya Allah diliputi oleh tempat ” , menarik untuk dicermati kata kata ” Diliputi ” ini merupakan jurus sang Ustadz untuk berkelit dari cengkraman Hujjah Abu Salafy , yang berarti menurut Ustadz firanda ” Allah hanya bertempat saja “, tanpa diliputi oleh tempat , Ustadz , diliputi atau tidak diliputi selagi dikatakan Allah bertempat adalah SALAH , sebab bertentangan dengan Hadist diatas tadi : bahwa Allah telah ada sebelum selainnya ada.
3. jurus “cerdik” lainnya sang ustadz mengatakan : Jangan disamakan antara tempat dan arah
apakah menurut Ustadz firanda tempat dan arah itu bukan makhluknya Allah…..? sehingga mengatakan : jangan samakan tempat dan arah ” bukankah keduanya sama-sama Makhluknya Allah…….apakah jika Allah berada pada arah tertentu , tidak berarti Allah bertempat dalam Arah itu……? (logika Ustadz Firanda mulai kocar kacir)
Ustadz firanda mengatakan :
Adapun penjelasan maksud dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwasanya Allah berada di atas, maka melalui point-point berikut ini:
1- Ketinggian itu ada dua, ada ketinggian relatif dan ada ketinggian mutlaq. Adapun ketinggan relatif maka sebagaimana bila kita katakana bahwasanya lantai empat lebih tinggi daripada lantai satu, akan tetapi hal ini relatif, karena ternyata lantai empat lebih rendah daripada lantai enam.
Jawab : ketinggian Relatif : lantai empat lebih tinggi dari lantai satu , ( adalah salah , karena ketinggian relatif adalah ketinggian Maknawi yang tidak bersifat Fisik , seperti menteri lebih tinggi dari bupati atau presiden diatas para menteri ), Firanda : tetapi lantai 4 lebih rendah dari lantai 6 , benar tapi juga salah , sebab yang Ustadz Firanda Bandingkan adalah lantai 4 dengan lantai 1 , lantai enam tidak Ustadz bandingkan tetapi tiba-tiba dimunculkan inilah yang disebut dengan perkeliruan. Ketinggian Relatif yang Ustadz Firanda Karang ini menunjukkan jika sang Ustadz memahami jika Dzat Allah adalah Jisim sehingga dalam mencontohkan ketinggian relatif pun Ustadz Firanda mencontohkan dengan contok Fisik yaitu bangunan bertingkat , maha suci Allah dari segala percontohan ini.
Ustadz Firanda mengatakan :
2- Adapun ketinggian mutlak adalah ketinggian kearah atas. Semua manusia di atas muka bumi ini bersepakat bahwasanya semakin sesuatu ke arah atas maka semakin tinggilah sesuatu tersebut. Maka jadilah poros bumi sebagai titik nol pusat kerendahan, dan semakin ke arah atas (yaitu ke arah langit) maka berarti semakin kearah yang tinggi. Oleh karenanya sering juga kita mendengar perkataan para fisikawan “Tinggi gunung ini dari permukaan tanah…. atau dari permukaan air laut..”. Oleh karenanya kita harus paham bahwasanya langit senantiasa letaknya di atas. Taruhlah jika kita sedang berada di bagian bumi bagian selatan, maka langit pada bagian bumi selatan adalah di atas kita, demikian juga langit pada bagian bumi utara juga berada di atas kita, demikian juga langit pada bagian bumi barat dan langit pada bagian bumi timur.
Jawab :
1. ketinggian Muthlak , disini tampak jelas jika yang diinginkan oleh sang ustadz adalah ketinggian Fisik / Dzat Allah , disini tampak jelas jika sang Ustadz membagaimanakan Istiwanya Allah , padahal dari awal jelas sekali perkataan semua Ulama tanpa membagaimanakan ( bila Kaif )
2. falsafat sang Ustadz ini meniscayakan bentuk Allah Subhanahu Wata`ala berbentuk Bulat atau Bundar , karena beliau mengatakan ” dimanapun engkau berada Niscaya langit selalu berada diatasmu “, jika demikian logika Ustadz Firanda berarti : ” karena Allah selalu berada pada Arah atas , dan Bumi itu Bulat berarti Allah itu Bulat , entah dari mana Ustadz firanda mendapatkan ” filsafat ngawur ” yang bertentangan dengan akal sehat dan Qur`an yang jelas telah mengatakan : Laista kamistlihi syai`, la tudrikuhul Abshar wahuwa yudrikul Abshar , keyakinan dan Filsafat Ustadz firanda ini bisa menyebabkan Kekefuran , wal-I`adzu Billah. Bagaimana pun kau gambarkan Allah dalam benakmu , maka Allah pasti tidak seperti itu.
Ustadz firanda mengatakan :
3- Apa yang ada dalam alam wujud ini hanyalah ada dua, Kholiq (yiatu Allah) dan alam semesta (yaitu seluruh makhluk). Dan bagian alam yang paling tinggi adalah langit yang ke tujuh, dan Allah berada di atas langit yang ketujuh, yaitu Allah berada di luar alam. Janganlah di bayangkan bahwa setelah langit yang ke tujuh ada ruang hampa tempat Allah berada, karena ruang hampa juga merupakan alam. Intinya kalau dianggap ada yang lebih tinggi dari langit ketujuh dan merupakan penghujung alam semesta dan yang tertinggi maka Allah berada di balik (di luar) hal itu, dan lebih tinggi dari hal itu. Sehingga tidak ada suatu tempat (yang tempat merupakan makhluk Allah) yang meliputi Allah, karena Allah di luar alam semesta.
Jawab : pernyataan ustadz dalam point 3 ini membatalkan point ke 2 dan juga terdapat banyak kesalahan :
Kesalahan 1. ” bagian alam yang paling tinggi adalah langit yang ke tujuh ” pernyataan ini salah besar dan bertentangan dengan Qur`an dan hadist Shahih yang menyatakan diatas langit ke 7 ada Arsy dan diatas Arsy masih ada Lauhul Mahfudz
Kesalahan 2. dan Allah berada di atas langit yang ketujuh ” pernyataan ini salah , karena tidak ada satupun Ayat Qur`an Maupun Hadist yang mengatakan ” Allah berada pada langit ke 7 , pernyataan ini juga salah dan kekufuran , karena jika Allah berada dilangit ke 7 berarti Allah berada dibawah Arsy dan Lauhul mahfudz , Allah maha tinggi dari semua itu.
Kesalahan 3. yang juga fatal disamping juga meruntuhkan pernyataan pernyataan ustadz Firanda sebelumnya , pernyataan : ” Sehingga tidak ada suatu tempat (yang tempat merupakan makhluk Allah)————————- ” falsafat bathil Ustadz Firanda meng – Isyaratkan adanya ” tempat yang bukan makhluknya Allah yang tidak meliputi Allah ” ini adalah Syirik Akbar dan kekufuran , karena sesunguhnya tidak ada pencipta selain Allah , sehingga tidak mungkin ada tempat yang bukan Makhluknya Allah meskipun tempat itu tidak meliputi Allah. Sebagaimana di tegaskan oleh pernyataan Ustadz Firanda . bahwa ada Arah yang tidak ada . saya minta Ustadz Firanda membawakan dalil yang shahih atas pernyataannya ini.
Ustadz firanda mengatakan ;
4- Dari penjelasan di atas, maka jika Ahlus Sunnah mengatakan bahwa Allah di jihah (di arah) atas maka bukanlah maksudnya Allah berada di suatu tempat yang merupakan makhluk. Akan tetepi Allah berada di luar alam, dan berada di arah atas alam. Dan jihah tersebut bukanlah jihah yang berwujud akan tetapi jihah yang tidak berwujud karena di luar alam. (lihat penjelasan Ibnu Rusyd Al-Hafiid dalam kitabnya Al-Kasyf ‘an Manhaj Al-Adillah hal 145-147)
jawab : point ke 4 ini semakin menjelaskan keyakinan Bathil sang Ustadz disamping juga menunjukkan betapa Goncangnya Aqidah Ustadz Firanda , keyakinan Bathil : bahwa Allah berada pada arah atas secara Fisik , keyakinan yang Goncang : ketika ustadz Firanda juga tahu Ulama meng-kafirkan Aqidah Hulul (aqidah yang menyatakan Allah menempati Makhluknya ) akhirnya Ustadz Firanda mengalihkan dan mereka-reka , seakan-akan bahwa diluar alam sana ada Arah yang tidak ber-wujud disitulah Allah berada , tidak tahukah Ustadz firanda Bahwa Arah khayalannya itu (arah yang tidak ber-wujud ) adalah ADA dalam khayalan sang Ustadz. Dan itu berarti melajimkan 2 hal :
1. jika dinyatakan Jihah / Arah yang tidak ber-wujud itu bukanlah Makhluknya Allah , maka Ustadz Firanda telah Kafir , sebab Ummat Islam berkeyakinan (sesuai Qur`an dan Hadist ) tidak ada pencipta selain Allah , sebab jika dinyatakan Jihah / arah yang tidak ada itu , bukan Makhluknya Allah berarti ada pencipta lain selain Allah dan ini adalah Syrik Akbar.
2. jika dinyatakan Jihah / Arah yang tidak ber-wujud itu adalah makhluknya Allah , maka Ustadz Firanda pun ( dengan keyakinannya ini ) telah kafir , karena sudah menyatakan Aqidah Hulul , bahwa Allah menempati / menyatu dengan Makhluknya yang bernama : Jihah yang tidak ber-wujud.
ustadz Firanda mengatakan :
5- Imam Ahmad pernah menjelaskan sebuah pendekatan pemahaman tentang hal ini.
Beliau berkata
“Jika engkau ingin tahu bahwasanya Jahmiy adalah seorang pendusta tatkala menyangka bahwsanya Allah di semua tempat bukan pada satu tempat tertentu, maka katakanlah : Bukankah Allah dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?. Maka ia akan menjawab : Iya.
Katakan lagi kepadanya, “Tatkala Allah menciptakan sesuatu apakah Allah menciptakan sesuatu tersebut dalam dzat Allah ataukah di luar dzat Allah?”. Maka jawabannya hanya ada tiga kemungkinan, dia pasti memilih salah satu dari tiga kemungkinan tersebut.
Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakan sesuatu tersebut di dalam dzat Allah maka ia telah kafir tatkala ia menyangka bahwasanya jin dan para syaitan berada di dzat Allah.
Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakannya di luar dzat Allah kemudian Allah masuk ke dalam ciptaannya maka ini juga merupakan kekufuran tatkala ia menyangka bahwasanya Allah masuk di setiap tempat dan wc dan setiap kotoran yang buruk.
Jika ia mengatakan bahwasanya Allah menciptakan mereka di luar dzatnya kemudian tidak masuk dalam mereka maka ia (si jahmiy) telah meninggalkan seluruh aqidahnya dan ini adalah perkataan Ahlus Sunnah” (Ar-Rod ‘alaa Al-Jahmiyyah wa az-Zanaadiqoh hal 155-156)
jawab : 1. kitab Ar-rod alal jahmiyah adalah kitab yang dinisbatkan secara PALSU kepada Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana dinyatakan oleh Al- Imam adz-dzahabi dalam siar a`lam an-nubala juz 11 hal. 286 , dan pada halaman berikutnya dalam kitab itu , pada Hasyiah no 1 bahwa kitab Palsu ini ( ar-rod alal jahmiyah) diriwayatkan oleh al-Khollal dari seorang yang Majhul yang bernama al-khodir bin al-mutsanna dari abdullah bin Ahmad bn Hanbal , lantas dari manakah Al-khollal mendapatkan nama yang majhul itu…..! sebagaimana kita ketahui bersama Al-khollal ini adalah :
Abu bakar ahmad bin muhammad bin harun al-baghdadi yang terkenal dengan julukan Al-kholal , bermadzhabkan hanbali , dia seorang ahli Bid`ah Mujassim Musyabih , orang ini pulalah yang diikuti Ibnu taimiyah dalam menetapkan Aqidah Julus (Allah duduk) di Arsy , dia ini banyak menggunakan Hadist palsu , wahi dan Isroiliyat dalam bab aqidah makanya banyak sekali hal aneh yang dia kemukakan , dia menulis sebuah kitab yang diberi nama As-sunnah dalam kitab itu pulalah dia terang-terangan mengatakan jika Allah duduk diatas singasana (arsy) dan dia katakan barang siapa yang mengingkarinya dialah Jahmi penolak sifat yang zindiq. Sehingga periwayatan Al-Khollal ini tertolak disamping dalam sanadnya ada Rawi yang MAJHUL.
Kalaupun kita (Aswaja) mengalah kepada Ustadz Firanda , karena sebenarnya ( riwayat kitab tersebut sudah Gugur dan tertolak sehingga sudah tidak perlu dilirik ) namun demi menghargai usaha Sang Ustadz baiklah mari kita bahas .
Ustadz firanda berkata :
6- Perkataan Imam Ahmad أَلَيْسَ اللهُ كَانَ وَلاَ شَيْءَ (Bukankah Allah dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?) sama dengan perkataan كان الله ولا مكان (Allah dahulu (sendirian) tanpa ada tempat.) Perkataan Imam Ahmad ini di dukung oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam shahihnya
كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ
“Dahulu Allah (sendirian) dan tidak ada sesuatupun selainNya” (HR Al-Bukhari no 3191)
Dan kalimat disini memberikan faedah keumuman, yaitu tidak sesuatupun selain Allah tatkala itu, termasuk alam dan tempat.
Meskipun Imam Ahmad mengatakan demikian akan tetapi beliau tetap menetapkan bahwasanya Allah berada di atas. Dari sini kita pahami bahwa penetepan adanya Allah di atas tidaklah melazimkan bahwasanya Allah berada atau diliputi oleh tempat yang merupakan makhluk.
Jawab : 1. darimakah Ustadz Firanda tahu jika Imam Ahmad : ” beliau tetap menetapkan bahwasanya Allah berada di atas ” ……………………? Apakah Ustadz Firanda mengetahui Hal yang Ghaib….. sehingga tahu maksud Imam Ahmad tanpa riwayat……? Bukankah sudah sangat jelas perkataan Imam ahmad : (Bukankah Allah telah ada (sendirian) tanpa ada sesuatu lainnya ?) yang bertolak belakang dengan keyakinan Ustadz Firanda bahwa Allah berada pada arah yang tidak berwujud…….? Yang berarti Arah yang tidak ber-wujud itu ada berbarengan dengan adanya Allah…….? Terlebih perkataan Imam Ahmad didukung Hadist : ” Allah telah ada (sendirian) dan tidak ada sesuatupun selainNya” (HR Al-Bukhari no 3191)
Lantas mengikuti siapakah Ustadz firanda ini……? Bahwa Allah berada pada arah yang tidak Ada ……..? (yang berarti arah yang tidak ada itu ada)……kenapa Ustadz Firanda tidak mengikuti Rosulallah SAW saja…….? : “Allah telah ada (sendirian) dan tidak ada sesuatupun selainNya” (HR Al-Bukhari no 3191)
Andai Ustadz Firanda mengikuti Rosulallah SAW sebagaimana Imam Ahmad mengikuti Rosulallah Saw , ustadz Firanda tidak akan mengatakan : ” Dari sini kita pahami bahwa penetepan adanya Allah di atas tidaklah melazimkan bahwasanya Allah berada atau diliputi oleh tempat yang merupakan makhluk. ” , yang berarti menurut Ustadz Firanda ” Arah / Jihah yang tidak ada itu ” adalah Bukan makhluk tentu ini adalah kekufuran diatas kekufuran , sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Ustadz firanda mengatakan :
Perkataan Imam Ahmad ini mirip dengan perkataan Abdullah bin Sa’iid Al-Qottoon sebagaimana dinukil oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dalam kitabnya maqoolaat Al-Islamiyiin 1/351
Abul Hasan Al-Asy’ari berkata, “Dan Abdullah bin Sa’iin menyangka bahwasanya Al-Baari (Allah) di zaman azali tanpa ada tempat dan zaman sebelum penciptaan makhluk, dan Allah senantiasa berada di atas kondisi tersebut, dan bahwasanya Allah beristiwaa’ di atas ‘arsyNya sebagaimana firmanNya, dan bahwasanya Allah berada di atas segala sesuatu”
Perhatikanlah para pembaca yang budiman, Abdullah bin Sa’iid meyakini bahwasanya Allah tidak bertempat, akan tetapi ia –rahimahullah- tidak memahami bahwasanya hal ini melazimkan Allah tidak di atas. Sehingga tidak ada pertentangan antara keberadaan Allah di arah atas dan kondisi Allah yang tidak diliputi suatu tempat.
Jawab : 1. diatas sudah dikatakan jika kitab al-Ibanah dan Maqolat Islamiyyin adalah kitab-kitab yang oleh kalangan Asy`ariyah pun tidak menggunakannya sebagai pegangan Utama , karena kitab-kitab tersebut tidak lagi murni Asli karangan Sang Imam.
2.kembali kita mengalah demi menghormati usaha ustadz firanda , meskipun seakan akan saya berhadapan dengan orang yang tidak bisa menerima keberadaan Allah tanpa Tempat dan Arah , padahal sudah begitu jelas pernyataan Imam Ahmad yang didukung oleh Hadist Rosulallah SAW
Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Awal, maka tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Akhir, maka tidak ada sesuatu setelah-Mu. Ya Allah, Engkaulah Yang Zhahir, maka tidak ada sesuatu di atas-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Bathin, maka tidak ada sesuatu di bawah-Mu. Ya Allah, lunaskanlah hutang-hutang kami dan bebaskanlah kami dari kefaqiran’
[Shahih Muslim no.4888]
Hadist ini tegas menyatakan Tidak ada sesuatu diatas Allah , dan tidak ada sesuatu dibawah Allah , yang berarti Allah ada tanpa tempat dan Arah. Yang sekaligus membabat habis Aqidah Ustadz Firanda yang menyatakan ” Allah berada diatas Makhluknya ”
kenapa sih Ustadz Firanda masih nekat…….? Ustadz Firanda hanya mengerti bahwa ketinggian itu hanya bersifat Fiskly , Ustadz Firanda tidak Mau menerima Ketinggian yang bersifat Maknawi sehingga dari tadi kita lihat betapa Goncangnya Falsafat Ustadz firanda sampai-sampai menabrak Ijmak bahwa Allah Ada tanpa tempat dan Arah sebagaimana dinyatakan dalam hadist diatas . bahkan keyakinan Ustadz Firanda ini dapat membawa pada kekufuran.
4. tolong perhatikan pernyataan ustadz Firanda ” Abdullah bin Sa’iid meyakini bahwasanya Allah tidak bertempat, akan tetapi ia –rahimahullah- tidak memahami bahwasanya hal ini melazimkan Allah tidak di atas. ”
jawab ; 1. Ustadz Firanda mengakui jika banyak ulama seperti Abdullah bin said meyakini bahwasannya Allah tidak Bertempat , namun kemudian dia salah memahami ” atas (al-Fawq ) dan ketinggian (al-uluw) yang dimaksud oleh para Ulama.
2. yang dimaksud oleh ulama tentang atas (fawq0 ) dan ketinggian ( al-uluw) Allah , adalah ketinggian , derajat ,. martabat , kedudukan dan kekuasaan , sama sekali Bukan ketinggian Fisik atau dzat Allah , sebab Ulama memahaminya dengan mengabungkan seluruh riwayat tentang ” atas dan ketinggian ” sehingga ketinggian yang dimaksud oleh Ulama Ahlu Sunnah tidak bertentangan dengan Qur`an dan Hadist , seperti ayat ” Sujudlah dan mendekatlah ” (Qs. Al-alaq : 19 ) sujud di identikkan dengan mendekat kepada Allah , jika ketinggian diartikan secara Fisik / Dzat maka Posisi Sujud tentu akan lebih Jauh ketimbang posisi berdiri , sehingga Sujud adalah menjauh dari Allah , karena Allah secara Fisik dan Dzat berada diatas Langit bahkan jauuuh diatas langit menurut pemahaman Ustadz Firanda . tentu keyakinan seperti aqidah ustadz firanda ini bertentangan dengan ayat al-qur`an tadi.
3. jika Atas ( Fawq) dan ketinggian ( al-Uluw) difahami secara Fisik dan ber-jarak, sebagaimana yang difahami Ustadz Firanda , Niscaya tergambar jika Allah itu Bundar mengikuti bentuk Bumi yang Bulat ini dimana pada tiap sisi bumi ada langit , sehingga Allah itu berbentuk mengikuti bundarnya Bumi , tentu pemahaman seperti ini akan mengakibatkan kesesatan dan kekufuran , wal-I`adzu Billah , ( rupanya ustadz Firanda mengikuti al-albani) atau jika Atas (Fawq) dan ketinggian (al-uluw) dipahami secara Fisik / Dzat , sehingga ditetapkanlah Arah bagi Allah sebagaimana dipahami oleh Ustadz Firanda , maka meniscayakan Jika Allah itu Tidak Ahad (Esa) , sebab manusia itu terlingkupi oleh arah yang enam , sehingga manusia yang Utara Allahnya satu , yang di selatan Allahnya satu , yang ditimur satu yang dibarat satu yang dibawah bumi Allahnya Satu , dan yang dibumi bagian diatas Allahnya satu . Keyakinan dan Aqidah seperti ini hanya cocok bagi orang-orang yang tidak berakal waras. Syeikh Bin Baz Faham betul jika bulatnya bumi akan merusak aqidah wahabi.
Ustadz firanda berkata :
Sehingga tidak ada pertentangan antara keberadaan Allah di arah atas dan kondisi Allah yang tidak diliputi suatu tempat. ”
Jawab : andai kata ” Atas ” tidak ditambahkan dalam kata ” Arah ” niscaya tidak ada pertentangan dengan Aqidah Ahlu Sunnah wal-jama`ah (Asy`ariyah) bahwa Allah ada tanpa tempat dan Arah. Andai kata Atas ” yang dimaksud adalah ketinggian secara Maknawi tentu Aqidah Ustadz firanda akan sama dengan Aqidah Ahlu Sunnah ( Asy`ariyah) hanya sayang dari awal hingga Akhir , Ustadz Firanda selalu menggandeng ” Atas ” dengan Arah , yang difahami secara Fisik dan dzat. Yang menyebabkan kegoncangan dan Kontradiksi yang parah , dan bertentangan baik dengan Al-qur`an , Hadist maupun akal yang sehat.
Ustadz Firanda mengatakan ;
Pemahaman Imam Ahmad dan Abdullah bin Sa’iid bertentangan dengan pemahaman Abu Salafy cs yang menyangka bahwa kalau kita menafikan tempat dari Allah melazimkan Allah tidak di atas. Atau dengan kata lain Abu Salafy cs menyangka kalau Allah berada di arah atas maka melazimkan Allah diliputi oleh tempat.
jawab : 1. ustadz Firanda mulai terlihat sempoyongan sehingga mengatakan : ” Pemahaman Imam Ahmad dan Abdullah bin Sa’iid bertentangan dengan pemahaman Abu Salafy cs ” , tanpa menjelaskan dimana letak Pertentangannya. Atau jangan-jangan Ustadz Firanda tidak Faham dengan Ucapannya sendiri…..?
2. dan justru yang saya Fahami adalah sebaliknya , yang saya fahami : Pemahaman Imam Ahmad dan Abdullah bin Sa’iid bertentangan dengan pemahaman Ustadz Firanda dkk , sebab kedua Imam itu mengatakan : ” Allah telah ada sebelum selainnya ada ” sementara Ustadz Firanda mengatakan : ” Allah ada diatas langit ” , padahal Langit itu diciptakan oleh Allah dari tidak ada menjadi ada ) perbedaan pemahaman antara para Imam dengan Ustadz Firanda sangat jelas. Lalu pertanyaannya sejak kapankah (menurut Ustadz Firanda ) Allah berada diatas langit…………..? sejak langit itu diciptakan atau setelah langit itu diciptakan……………..? atau langit itu ada bersamaan dengan adanya Allah …….? Semua jawabannya akan mengakibatkan kekufuran.
3. ternyata Aqidah (keyakinan) Ustadz Firanda juga labil , dimana diawal diskusi Ustadz Firanda berkeyakinan bahwa ” Allah berada diatas Langit ” namun kemudian berubah menjadi ” Allah ada diatas Arsy ” kemudian berubah lagi dan ustadz Firanda menegaskan keyakinannya (Aqidahnya) jika sebenarnya ” Allah ada pada Arah yang tidak ber-Wujud ” , inilah kegoncangan luar biasa aqidah Ustadz firanda yang sekaligus bertentangan dengan pemahaman para imam diatas. Entah mana tepatnya Aqidah yang Ustadz Firanda Yakini. Diatas langit kah …….? Atau diatas Arsy………? Atau malah Diatas Arah yang tidak ber-wujud………? Lalu dari manakah Ustadz firanda Tahu jika Allah berada pada Arah yang tidak ber-Wujud………..? sebab ” Arah yang tidak ber-wujud itu ” tidak pernah disebutkan dalam Al-qur`an dan Al-Hadist , dan tidak pernah diucapkan seorang Ulama Islam kecuali sekte Mujassimah Karomiyah dan para pengikutnya (Ibnu Taimiyah) . Ternyata Ustadz Firanda ini pengikut sekte Karomiyah toh………..?
Ustadz Firanda berkata :
Adapun riwayat Abu Nu’aim dalam hilyatul Auliyaa 1/73
Adapun sanad dari riwayat diatas sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/72 adalah sbb:
Ana berharap Abu Salafy cs mendatangkan biografi para perawi di atas dan menghukumi keabsahan sanad di atas !!!
Jawab : 1. pertanyaan Ustadz Firanda ini merupakan bentuk ke tidak berdayaan ustadz Firanda dalam menjawab Hujjah Abu Salafy , dan ini merupakan salah satu contoh berkelitnya sang Ustadz dari cengkraman kuat Hujjah Abu Salafy , bukannya memberikan jawaban , sang Ustadz malah meminta bioghrafi para Rawi , jika Ustadz Firanda seorang pencari kebenaran sejati , tentu sebagai orang yang mempunyai pendidikan dan mempunyai kemampuan untuk MenTakhrij , Ustadz Firanda akan Tunjukkan jika Riwayat ini tidak sah , Mungkar , maudhu` atau hukum sanad lainnya . bukan malah minta disuapin , kecuali jika Ustadz Firanda ini bukan LC atau bukan sarjana dalam bidang keagamaan, semoga Ustadz Firanda sadar akan hal itu karena beliau sebagai orang yang berpendidikan mempunyai kewajiban untuk mengawal Aqidah Ummat agar tetap pada Aqidah Yang benar. Bukan malah menyesatkan Ummat dengan riwayat – riwayat yang tidak sah Mungkar bahkan Maudhu`.
2. bukankah Ustadz Firanda juga dalam ” Klaim Ijmaknya ” tidak menyertakan Bioghreafi para rawinya…..? bahkan Ustadz Firanda juga tidak menyertakan status hukum dari atsar yang dibawanya , bahkan nama rawinyapun banyak yang tidak disertakan , lalu kenapa sekarang ustadz Firanda , bersifat ” pura-pura ” kritis terhadap sanad dalam riwayat yang dibawakan Ustadz Abu Salafy …..? Subhanallah sebenarnya apa yang dicari Ustadz Firanda ini………?
3. ketika Ustadz Abu Salafy membawakan Riwayat tanpa sanad , sikap Ustadz Firanda begitu antipati , dan bersikap kasar seolah ingin menelan bulat-bulat Abu Salafy . namun ketika Ustadz Abu Salafy mebawakan Riwayat yang bersanad , sikap ustad Firanda malah berkelit , bak seorang pengecut menghadapai kilauan pedang Lawan.
Abu Salafy berkata :
Penegasan Imam Imam Ali ibn Husain –Zainal Abidin- ra.
Ali Zainal Abidin adalah putra Imam Husain –cucu terkasih Rasulullah saw.- tentang ketaqwaan, kedalaman ilmu pengatahuannya tentang Islam, dan kearifan Imam Zainal Abidin tidak seorang pun meragukannya. Beliau adalah tempat berujuk para pembesar tabi’in bahkan sehabat-sabahat Nabi saw.
Telah banyak diriwayatkan untaian kata-kata hikmah tentang ketuhanan dari beliau ra. di antaranya adalah sebagai berikut ini.
أنت الله الذي لا يحويك مكان.
”Engkaulah Allah Dzat yang tidak dirangkum oleh tempat.”
Dalam hikmah lainnya beliau ra. berkata:
أنت الله الذي لا تحد فتكون محدودا
”Engkaulah Allah Dzat yang tidak dibatasi sehingga Engkau menjadi terbatas.”[ Ithâf as Sâdah al Muttaqîn, Syarah Ihyâ’ ‘Ulumuddîn,4/380])) -Demikan perkataan Abu Salafi-
ustadz Firanda berkata:
Ana katakan kepada Abu Salafy, dari mana riwayat ini? Mana sanadnya?, bagaimana biografi para perawinya? Apakah riwayat ini shahih…??!!
Para pembaca yang budiman, berikut ini kami akan tunjukan sumber pengambilan Abu Salafy yaitu kitab Ithaaf As-Saadah Al-Muttaqiin 4/380
Dalam buku ini dijelaskan bahwasanya atsar Zainal Abidin ini bersumber dari As-Shohiifah As-Sajjaadiyah, kemudian sanadnya sangatlah panjang, maka kami meminta Al-Ustadz Abu Salafy al-Majhuul dan teman-temannya untuk mentahqiq keabsahan sanad ini dari sumber-sumber yang terpercaya. Jika tidak maka para perawi atsar ini dihukumi majhuul, sebagaimana diri Abu salafy yang majhuul. Maka jadilah periwayatan mereka menjadi riwayat yang lemah.
Jawab : kembali Ustadz Firanda al—makdhzuul menggunakan gaya ” pengecut ” dalam menghadapi kilauan pedang Abu Salafy , bukannya men-Takhrij sendiri malah lempar batu sembunyi tangan.
Ustadz Firanda berkata :
Tahukah Al-Ustadz Abu salafy Al-Majhuul bahwasanya As-Shohiifah As-Sajjadiyah adalah buku pegangan kaum Rofidhoh?, bahkan dinamakan oleh Rofidhoh dengan nama Ukhtul Qur’aan (saudarinya Al-Qur’an) karena menurut keyakinan mereka bahwasanya perkataan para imam mereka seperti perkataan Allah.
Sekali lagi ternyata Abu Salafy cs doyan untuk bersepakat dengan kaum Syi’ah Rofidhoh, doyan dengan aqidah mereka…???!!!
Ana sarankan ustadz Abu salafy untuk membaca buku yang berjudul Haqiqat As-Shahiifah As-Sajjadiah karya DR Nasir bin Abdillah Al-Qifarii (silahkan didownload di .
Jawab : 1. Tahukah Al-Ustadz Firanda Al-makhdzuul (yang terhinakan ) , (karena sebenarnya ustadz Firanda sudah menentang Qur`an dan Hadist serta kalah telak oleh Abu Salafy) jika kebenaran itu tidak memandang dari mana kebenaran itu diambil , dimanapun yang namanya kebenaran tetaplah kebenaran , meskipun jika ia keluar dari orang yang paling hina, perkeliruan dan logika konyol Ustadz Firanda ini , melazimkan Ummat Islam ( ahlu Sunnah ) untuk tidak berpegang pada Al-Qur`an karena Al-qur`an juga adalah pegangan sekte-sekte sesat seperti Syi`ah Rofidhoh , Khowarij Juga Karomiyah mujassimah, inilah logika konyol dan perkeliruan Ustadz Firanda , yang juga melazimkan : ” Sekali lagi ternyata Firanda cs doyan untuk bersepakat dengan kaum Karomiyah mujassimah , doyan dengan aqidah mereka…???!!! ,
2. silahkan Ustadz Firanda kaji dan teliti sanad dari riwayat itu , silahkan ustadz Firanda men-Takhrij sanad dari riwayat yang dibawakan Abu salafy , jangan hanya bisa ngeles , dan perlu Ustadz Firanda ketahui jika pernyataan seperti itu (yg terdapat dalam it-tihaf ) adalah Ijmak Ahlu Sunnah yang berlandaskan hadist Shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Amrom bin Hushain dengan dua jalur periwayatan 1. dari `A`masy dengan lima jalur periwayatan dan 2. dari Mas`udi kholid bin Harist dengan tujuh jalur periwayatan, yang menunjukkan jika Hadist tersebut adalah Hadist yang Mutawatir. Pertanyaannya kenapa Ustadz Firanda menolak perkataan Imam Ali (dengan alasan2 konyol dan tidak ilmiyah) padahal perkataan Itu bersumber dari Hadist yang mutawatir ini……?
3. mengenai hadist tersebut berkata Al-hafidz Al-baihaqi : dan perkataannya ” Allah telah ada sebelum sesuatu ada ” menunjukkan tidak ada sesuatu selain Allah ” tidak air tidak Arsy tidak pula selain keduanya (al-asma wa-as-shifat hal 375-376) , dan berkata Al-hafidz Ibn Abdil Bar : dan benar menurut Akal , dan tetap (tsabit) menurut dalil yang jelas bahwasannya Allah ada pada Azal tidak berada pada tempat ( At-tamhid Ibn abdil Bar juz 7 hal 136 ) tentu masih banyak pernyataan Ulama Ahlu Sunnah lainnya yang senada , apakah pernyataan-pernyataan Ulama ini juga Aqidah Rofidhoh …………………?
Abu Salafy berkata :
Penegasan Imam Ja’far ash Shadiq ra. (W. 148 H)
Imam Ja’far ash Shadiq adalah putra Imam Muhammad -yang digelaru dengan al Baqir yang artinya si pendekar yang telah membela perut ilmu pengetahuan karena kedalaman dan kejelian analisanya- putra Imam Ali Zainal Abidin. Tentang kedalam ilmu dan kearifan Imam Ja’far ash Shadiq adalah telah menjadi kesepakatan para ulama yang menyebutkan sejarahn hidupnya. Telah banya dikutip dan diriwayatkan darinya berbagai cabang dan disiplin ilmu pengetahuan, khususnya tentang fikih dan akidah.
Di bawah ini kami sebutkan satu di antara pegesan beliau tentang kemaha sucian Allah dari bertempat seperti yang diyakini kaumm Mujassimah Wahhabiyah. Beliau berkata:
من زعم أن الله في شىء، أو من شىء، أو على شىء فقد أشرك. إذ لو كان على شىء لكان محمولا، ولو كان في شىء لكان محصورا، ولو كان من شىء لكان محدثا- أي مخلوقا.
”Barang siapa menganggap bahwa Allah berada dalam/pada sesuatu, atau di attas sesuatu maka dia benar-benar telah menyekutukan Allah. Sebab jika Dia berada di atas sesuatu pastilah Dia itu dipikul. Dan jika Dia berada pada/ di dalam sesuatu pastilah Dia terbatas. Dan jika Dia terbuat dari sesuatu pastilah Dia itu muhdats/tercipta.”[ Risalah al Qusiariyah:6])) –demikian perkataan Abu Salafy-
Firanda berkata :
Demikianlah Abu Salafy Al-Majhuul, tatkala tidak mendapatkan seorang salafpun yang mendukung aqidahnya maka diapun segera mencari riwayat-riwayat yang mendukung aqidahnya meskipun riwayat tersebut lemah, bahkan meskipun tanpa sanad. Inilah model pendalilalnnya sebagaiamana telah lalu.
Berikut ini kami nukilkan langsung riwayat tanpa sanad tersebut dari kita Ar-Risaalah Al-Qusyairiyyah
Dan nampaknya Abu Salafy tidak membaca buku ini secara langsung sehingga salah dalam menyebutkan nama buku ini. Abu Salafy berkata ” Risalah al Qusiariyah ”
Jawab : demikianlah Ustadz Firanda Al-Makhdzul , menolak seluruh pernyataan Ulama yang dibawakan Ustadz Abu Salafy , dengan alasan tidak ada sanadnya , namun ketika pernyataan itu bersanad dengan konyol Ustadz firanda meminta bioghrafi para rawinya , padahal ustad Firanda sendiri tatkala tidak mendapatkan seorang salaf pun yang mendukung aqidahnya maka ustadz Firanda pun segera mencari riwayat-riwayat yang mendukung aqidahnya meskipun riwayat tersebut tidak sah , Mungkar bahkan Palsu (lihat riwayat2 klaim Ijmak ustadz firanda , yang semuanya sudah Gugur , diatas) . Inilah model pendalilalnnya sebagaiamana telah lalu. Dan Nampaknya kesalahan pengetikanpun disikapi secara kasar oleh Ustadz Firanda .