Rabu, 31 Oktober 2012

Membuat keputusan

Setelah beberapa waktu di Indonesiaku ini, banyak kejadian, aktivitas dan lain-lain yang memaksaku untuk berfikir ulang tentang kehidupan. Bukan kehidupan itu sendiri, melainkan bagaimana menjalani hidup ini. Ada di dalam diri kita keinginan, ide, perasaan, dan lain sebagainya yang terkadang berlawanan satu sama lain. Ide itu terbentuk dari pengetahuan, keinginan dan visi. berkembang menjadi suatu bentuk sistem pemikiran, tercipta dari detik pertama hingga detik kita lalui sekarang ini .. namun yang pasti, ada pergolakan dalam diri, suatu bentuk pemikiran marjinal, ketidakpastian, kemandulan tekad dikarenakan hantaman badai kegagalan dan visi yang tidak jelas di dalamnya.. Aktivitas itu kian menyimpang dari sasaran dikarenakan hidup itu sendiri mengalir tidak mengikuti konsep yang kita yakini, tetapi merupakan suatu susunan praktis alam, manusia dan tuhan.. Tidakkah kita sadar kita hidup bukan dalam mimpi, bayangan semu dan ide-ide besar. Bukan berarti kita menafikan keberadaan, namun bukankah hakikat hidup itu apa yang kita rasakan saat ini, bukan apa yang kita impi-besar-kan. Apakah dengan hanya mengekor pada suatu pemikiran besar akan menjadikan hidup ini membaik? mengekor bukanlah sikap dan sifat terbaik saat ini. Merumuskan sendiri apa yang bisa dilakukan adalah sikap paling positif saat ini, dikarenakan manusia itu berbeda satu sama lain, baik pengetahuan, kemampuan dan nalarnya. Sikap ini akan menjadi penentu keberlangsungan kehidupan, baik buruknya, laju lambatnya, serta maju berhentinya.. not to judge what we've done, only to remind what could be done..
Adakah hidup sesudah mati? Suatu pertanyaan yang tidak mungkin terjawab dengan logika inderawi, namun bisa diyakini dengan perasaan dan keimanan. Bahkan mereka yang telah dianugerahi nikmat iman yang hakiki mampu dan diberi kemampuan merasakan, melihat bahkan mendengar "kehidupan" tersebut.

Bagi kaum muslimiin, kehidupan sesudah mati merupakan bagian dari keyakinan yang tak terbantahkan (bahkan hampir seluruh agama menyatakan hal yang sama), namun demikian bukan berarti manusia dengan serta merta berlomba-lomba beramal kebajikan untuk bekal mereka setelah mati. Diantara milyaran manusia yang hidup bersama-sama, nampaknya hanya sedikit yang benar-benar menghayati "keimanan" ini.

Halangan terbesar manusia menghayati kematian adalah, bahwa mereka masih terpengaruh oleh "nature" atau sifat alami "tubuh hayati" mereka sendiri. Lapar dan dahaga, merupakan dasar kebutuhan tubuh rapuh ini, dan berikutnya adalah kebutuhan tempat berlindung. Tiga kebutuhan primer ini nampaknya mudah di dapat oleh manusia, meskipun makanan dan minuman serta tempat tinggal mereka sederhana. Namun sadarkah kita, bahwa ketiga hal tersebut dapat melupakan kita akan hakekat kematian?

Manusia juga dibekali "nature" mempertahankan diri (kalau boleh meminjam istilah "keakuan") yang dengannya manusia "diakui". Dan sekali lagi, sadarkah kita tentang bahaya nature ini?

Allah Sang pencipta tentu Maha tahu akan ciptaannya, sehingga diturunkanlah "pedoman hidup" yang secara berangsur-angsur namun pasti, membimbing manusia dan dunia menapakkan langkah kehidupan mereka di atas dunia kecil ini.

Melalui lisan para Nabi, Utusan, Da'i, tulisan para Ahli agama, filsafat maupun nasehat-nasehat pemimpin, kita dapatkan sesuatu yang menenteramkan jiwa. Dari mereka pulalah, kita dapatkan petunjuk terperinci dari kalam ilahi. Kitab-kitab besar dipelajari dan disebarkan untuk kebaikan seluruh ummat.

Haus dan lapar yang tak terpenuhi menimbulkan anarki, ketiadaan rumah berlindung menjadi sumber penyakit. Namun ketika manusia memperolah itu semua dengan mudah, seolah-olah mereka mendapatkannya dengan kemampuan diri sendiri dan mulai melupakan Pencipta mereka. Ketika manusia mampu melupakan Sang Pencipta, mulailah mereka membayangkan masa depan tanpa akhir. Kedirian mereka mulai bangkit tanpa tujuan hakiki.

Kedirian tanpa pedoman hidup inilah sumber dari keserakahan, ketololan, ketidakpedulian, kemunafikan bahkan kekejian. Manusia mulai memandang rendah sesuatu sesuai selera mereka, lupa bahwa semua adalah sama-sama ciptaan yang pasti hancur. Manusia yang aslinya menyukai keindahan, mulai merusak nilai ini dengan selera "kedirian" mereka. Pakaian-pakaian penutup aib mulai dibuka tanpa malu. Kerudung-kerudung dilemparkan dipojok dinding dan hanya dipakai ketika "kemunafikan religi" membutuhkannya.

Rupiah dan segala gemerlap kekayaan disimpan, digenggam, disembunyikan bahkan dirahasiakan keberadaannya tanpa peduli nasib saudara-saudara mereka, makhluk Sang Pencipta. Dalam hal ini, Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menilai benda mati untuk dinikmati, dikangkangi keberadaannya, dan dihargai menurut selera mereka. Dan anehnya, seluruh umat manusia mengamini hal ini.

Akhirnya, tibalah akhir tulisan ini, kembali mengingatkan diri penulis bahwa tiada yang kekal kecuali amal. Menjauhkan diri dari keinginan syahwat dan malapetaka terbesar bagi diri sendiri di akhir hari.

O Allah, forgive me, Don't forsake me...