Rabu, 31 Oktober 2012

Adakah hidup sesudah mati? Suatu pertanyaan yang tidak mungkin terjawab dengan logika inderawi, namun bisa diyakini dengan perasaan dan keimanan. Bahkan mereka yang telah dianugerahi nikmat iman yang hakiki mampu dan diberi kemampuan merasakan, melihat bahkan mendengar "kehidupan" tersebut.

Bagi kaum muslimiin, kehidupan sesudah mati merupakan bagian dari keyakinan yang tak terbantahkan (bahkan hampir seluruh agama menyatakan hal yang sama), namun demikian bukan berarti manusia dengan serta merta berlomba-lomba beramal kebajikan untuk bekal mereka setelah mati. Diantara milyaran manusia yang hidup bersama-sama, nampaknya hanya sedikit yang benar-benar menghayati "keimanan" ini.

Halangan terbesar manusia menghayati kematian adalah, bahwa mereka masih terpengaruh oleh "nature" atau sifat alami "tubuh hayati" mereka sendiri. Lapar dan dahaga, merupakan dasar kebutuhan tubuh rapuh ini, dan berikutnya adalah kebutuhan tempat berlindung. Tiga kebutuhan primer ini nampaknya mudah di dapat oleh manusia, meskipun makanan dan minuman serta tempat tinggal mereka sederhana. Namun sadarkah kita, bahwa ketiga hal tersebut dapat melupakan kita akan hakekat kematian?

Manusia juga dibekali "nature" mempertahankan diri (kalau boleh meminjam istilah "keakuan") yang dengannya manusia "diakui". Dan sekali lagi, sadarkah kita tentang bahaya nature ini?

Allah Sang pencipta tentu Maha tahu akan ciptaannya, sehingga diturunkanlah "pedoman hidup" yang secara berangsur-angsur namun pasti, membimbing manusia dan dunia menapakkan langkah kehidupan mereka di atas dunia kecil ini.

Melalui lisan para Nabi, Utusan, Da'i, tulisan para Ahli agama, filsafat maupun nasehat-nasehat pemimpin, kita dapatkan sesuatu yang menenteramkan jiwa. Dari mereka pulalah, kita dapatkan petunjuk terperinci dari kalam ilahi. Kitab-kitab besar dipelajari dan disebarkan untuk kebaikan seluruh ummat.

Haus dan lapar yang tak terpenuhi menimbulkan anarki, ketiadaan rumah berlindung menjadi sumber penyakit. Namun ketika manusia memperolah itu semua dengan mudah, seolah-olah mereka mendapatkannya dengan kemampuan diri sendiri dan mulai melupakan Pencipta mereka. Ketika manusia mampu melupakan Sang Pencipta, mulailah mereka membayangkan masa depan tanpa akhir. Kedirian mereka mulai bangkit tanpa tujuan hakiki.

Kedirian tanpa pedoman hidup inilah sumber dari keserakahan, ketololan, ketidakpedulian, kemunafikan bahkan kekejian. Manusia mulai memandang rendah sesuatu sesuai selera mereka, lupa bahwa semua adalah sama-sama ciptaan yang pasti hancur. Manusia yang aslinya menyukai keindahan, mulai merusak nilai ini dengan selera "kedirian" mereka. Pakaian-pakaian penutup aib mulai dibuka tanpa malu. Kerudung-kerudung dilemparkan dipojok dinding dan hanya dipakai ketika "kemunafikan religi" membutuhkannya.

Rupiah dan segala gemerlap kekayaan disimpan, digenggam, disembunyikan bahkan dirahasiakan keberadaannya tanpa peduli nasib saudara-saudara mereka, makhluk Sang Pencipta. Dalam hal ini, Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menilai benda mati untuk dinikmati, dikangkangi keberadaannya, dan dihargai menurut selera mereka. Dan anehnya, seluruh umat manusia mengamini hal ini.

Akhirnya, tibalah akhir tulisan ini, kembali mengingatkan diri penulis bahwa tiada yang kekal kecuali amal. Menjauhkan diri dari keinginan syahwat dan malapetaka terbesar bagi diri sendiri di akhir hari.

O Allah, forgive me, Don't forsake me...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar